kesetaraan geder
KESETARAAN
GENDER, UNTUK SIAPA?
Oleh:
Novia I.Z.
Perempuan tidak semata-mata dilahirkan, perempuan adalah proses menjadi.
Dan proses menjadi tersebut tidak pernah berakhir. (Simon de Beauvoir)
Kompleksitas fenomena gender dewasa ini kian menjadi ironi. Gaung pergerakan kaum feminis makin masif namun kaum hawa di permisif. Seolah mereka melupakan getolnya perjuangan aktivis perempuan di luaran sana untuk memperjuangkan kesetaraan bagi mereka di ranah publik.
Ambil contoh
fenomena di kampus yang meski tidak terjadi di setiap kesempatan, tapi relatif
sering teramati. Pernahkah teman-teman memperhatikan, di dalam ruang-ruang
perkuliahan, adakah para perempuan akan menduduki baris kursi terdepan? Bila
ada, berapa banyak? Coba bandingkan dengan jumlah para lelaki. Di dalam
forum-forum diskusi, berapa seringkah wanita tampil memberikan feedback berupa pertanyaan?
Tak ada jawaban
yang memuaskan atas fenomena ini. Bila ditanya, jawaban yang meluncur hanya
satu kata “malas”. Yang menjadi pertanyaan, pantaskah “malas” dijadikan alasan?
Oke bila tiap kali seminar gender, kita akan dicekoki bahwa
mentalitas menarik diri yang identik dengan kaum hawa merupakan hasil dari
tatanan sosial yang telah tertanam dalam pribadi si wanita itu sendiri. Sedari
pendidikan dasar, seorang perempuan kecil mulai diperkenalkan pelajaran yang
bias gender.
Budi bermain sepeda, Wati membantu ibu memasak di
dapur.
Malang nian nasib
Wati. Sejak dini sudah terdoktrin patriarki. Hasilnya, tanyalah pendapat banyak
wanita, mereka akan menjawab, memang seperti itulah layaknya seorang wanita
diposisikan (baca:kodrat). Bahwa wanita memang selayaknya tidak lebih depan
dari laki-laki, bahwa untuk apa susah-susah sekolah jika lantas sumur, dapur
dan kasur menanti...
Sejatinya yang
layak disebut kodrat adalah segala fitrah tuhan yang melekat pada masing-masing
jenis kelamin yang tidak bisa diubah serta berlaku universal. Seperti wanita
memiliki kodrat untuk melahirkan, menyusui, sedangkan pria menghasilkan sperma
dan memiliki jakun. Tidak lebih!
Lantas kodrat
yang selama ini digaungkan adalah kodrat bikinan manusia. Bahwa wanita
cenderung lemah sehingga tidak pantas menjadi pemimpin. Dengan mengaburkan
fakta-fakta bahwa di banyak tempat pejuang-pejuang wanita berjaya.
Berdamailah
dengan sejarah teman. Memang sejarah kurang ramah. Sedemikian rupa dia tercipta
tanpa menyebut-nyebut andil wanita di dalamnya. Tapi takdir hanya akan berubah
bila terdapat keteguhan sang pesakitan untuk merubahnya. Jangan melulu tuding
kanan kiri lantas lupa berkaca pada kealfaan diri sendiri.
Kalau bukan
dimulai dari diri sendiri, siapa lagi yang akan membebaskan jeruji
ketermarginalan yang mengkungkung diri dan pola fikir kita selama ini.
Kesenjangan gender dipermasalahkan bukan tanpa sebab. Kekerasan dalam rumah
tangga, banyaknya angka buta huruf (12,28% tahun 2003), serta tingginya angka
kematian ibu 307/100.000(SDKI 2002) yang terjadi merupakan contoh kecil wanita
dirugikan.
Kesalahan
mendasar mungkin menjadi sebab enggannya banyak pihak memperbaiki tatanan
gender dalam masyarakat. Bias gender
selalu diidentikkan dengan wanita. Padahal bukan hanya wanita, pria juga
dirugikan! Terutama dalam hal mencari nafkah, dimana kaum lelaki
dianggap berkewajiban atasnya. Tentu ini akan menimbulkan beban tersendiri.
Apalagi bila sang lelaki memiliki kekurangan-kekurangan seperti cacat fisik
yang menghambat pergerakannya. Tentu akan timbul perasaan-perasaan seperti
rendah diri, merasa tidak berguna dan sebagainya pada diri mereka.
Nah, mulai sekarang
ada baiknya kita membenahi pola fikir. Bahwa kesetaraan gender bukanlah
spesifik untuk wanita ataupun pria. Bicara gender adalah bicara
keadilan...Bagaimana menumbuhkan empati tanpa kesudahan.
Yogya, 20
februari 2009
yg laki tetap, takpernah jadi perempuan
BalasHapus