ASUHAN KEBIDANAN
PADA IBU P10001 NIFAS FISIOLOGI HARI KE-5
DI PONED PUSKESMAS JOGOROGO
KEC.JOGOROGO.KAB.NGAWI

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas
Pengalaman Belajar Praktek dan Praktek Klinik Kebidanan











Oleh :
NUR ISROFIYAH
P27824209061




KEMENKES REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI KEBIDANAN MAGETAN
PROGSUS DINAS KESEHATAN KABUPATEN
NGAWI
2010




LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Kebidanan Pada Ibu P10001 Nifas Hari Ke-5
Di Poned Puskesmas Jogorogo
Kec.Jogorogo,Kab.Ngawi.


Disetujui Tanggal :     Juni 2010











Mengetahui

Pembimbing Akademik



ASTUTI SETIYANI SST.MMKes
NIP.196810201988032001


Pembimbing Praktek



TUTIK PURWATI, Amd Keb
NIP.196709131989032005

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan Asuhan Kebidanan pada Ibu P10001 Nifas Fisiologi hari ke-5 di Poned Puskesmas Jogorogo. Kec. Jogorogo,Kab. Ngawi.
Dalam menyusun laporan ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran dari pembimbing praktek maupun akademik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Ibu Nani Surtinah, SST, SSiT, MPd selaku ketua Program Studi Kebidanan Magetan
2.      Ibu Astuti Setiyani SST.MMKes. selaku pembimbing pendidikan Program Studi Kebidanan Magetan
3.      Ibu Tutik Purwati, Amd Keb, selaku pembimbing praktek
4.      Serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini
Penulis menyadari  dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ngawi, Juni 2010
Penulis



DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................... i
Lembar Persetujuan.................................................................................................. ii
Kata Pengantar........................................................................................................ iii
Daftar Isi................................................................................................................. iv
BAB I LANDASAN TEORI
  1. Pengertian.................................................................................................... 1
  2. Periode Nifas............................................................................................... 1
  3. Fisiologi Nifas.............................................................................................. 1
  4. Pengkajian Data........................................................................................... 5
  5. Analisa Data............................................................................................... 17
  6. Perencanaan............................................................................................... 18
  7. Pelaksanaan................................................................................................ 22
  8. Evaluasi...................................................................................................... 22
BAB II TINJAUAN KASUS
  1. Pengkajian Data......................................................................................... 24
  2. Diagnosa Kebidanan.................................................................................. 32
  3. Perencanaan............................................................................................... 32
  4. Pelaksanaan................................................................................................ 35
  5. Evaluasi...................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
LANDASAN TEORI

A.          Pengertian
1.      Masa nifas adalah masa pulihnya kembali dari masa persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama nifas yaitu 6-8 Minggu ( Rustam Moochtar, 1998 : 115 ).
2.      Nifas adalah puerpurium berlangsung selama 6 Minggu sampai 48 hari merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan pada keadaan normal ( Manuaba, 1998 : 190 ).
3.      Nifas adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu ( Sulaiman, 1995 : 315)
4.      Nifas adalah masa  setelah seorang ibu melahirkan bayi dipergunakan untuk memulihkan kesehatannya ( Christina Jilid 111, 1993 : 1 ).

B.           Periode Nifas
1.      Puerperium Dini / Early Puerperium
Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dianggap bersih dan boleh bekerja ( setelah 40 hari ).
2.      Puerperium Intermedial
Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggui.
3.      Remote Puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi (bisa berminggu-minggu, bulanan, tahunan ). (  Mochtar, 1998 : 115).

C.          Fisiologi Nifas
Perubahan-perubahan yang normal terjadi pada masa nifas adalah :
1.      Involusi
Perubahan sebagai proses kembalinya alat kandungan dan jalan lahir setelah bayi  dilahirkan hingga mencapai keadaan seperti sebelum hamil.
a.       Involusi Rahim
Setelah bayi lahir, TFU ± 3 jari bawah pusat. Setelah 6 Minggu dicapai lagi ukuran normal. Involusi disebabkan oleh autolysis ( Sulaiman, 1983 : 315 ).
TFU dan berat uterus menurut masa involusi :
Involusi
TFU
Berat Uterus
Bayi lahir
Uri Lahir
1 Minggu

2 Minggu

6 Minggu
8 Minggu
Setinggi pusat
2 jari bawah pusat
Pertengahan pusat Symphisis
Tidak teraba atas symphisis
Bertambah kecil
Sebesar normal
1000 gram
750 gram
500 gram

350 gram

50 gram
30 gram
(  Mochtar , 1998 : 115 ).
Involusi ini terjadi karena masing-masing sel menjadi lebih kecil karena cytoplasmanya yang berlebihan di buang (Sulaiman S, 1983 : 315).
Involusi disebabkan oleh proses autolysis, pada zat protein dinding rahim dipecah, diabsorbsi dan kemudian dibuang dengan air kencing, sebagai buktinya kadar nitrogen dalam air kencing sangat tinggi (Sulaiman S, 1983 : 315).
Pelepasan placenta dari selaput janin dan dinding rahim terjadi pada stratum spongiosum bagian atas. Setelah 2-3 hari tampak bahwa lapisan atas dan stratum spongiosum yang tinggal menjadi nekrosis, sedangkan lapisan bawahnya yang berhubungan dengan lapisan otot terpelihara dengan baik (Sulaiman S, 1983 : 316).
Bagian yang nekrosis dikeluarkan dengan lochea, sedangkan lapisan yang tetap sehat menghasilkan endometrium yang baru. Epitel baru terjadi dengan proliferasi sel-sel kelenjar, sedangkan stroma baru dibentuk dari jaringan ikat diantara kelenjar-kelenjar epitelisasi siap dalam 10 hari, kecuali pada tempat plasenta dimana epitelisasi memakan waktu 3 minggu (Sulaiman S, 1983 : 316).
b.      Involusi tempat Placenta
Bekas implantasi placenta merupakan tempat dengan permukaan kasar, tidak rata, dan kira-kira sebesar telapak tangan. Dengan cepat luka ini  mengecil,  pada akhir minggu kedua hanya sebesar 3-4 cm dan terakhir nifas 1-2 cm. Luka bekas placenta tidak meninggalkan parut waktu sembuh ( Sastrawinata , 1983 : 316 ).
c.       Perubahan pembuluh darah rahim
Setelah persalinan tidak diperlukan lagi peredaran darah yang banyak maka arteri harus mengecil lagi dalam masa nifas (Sastrawinata, 1983 : 316).
d.      Cerviks
Cerviks agak menganga, seperti corong berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang-kadang terdapat perlukaan kecil setelah bayi lahir.
Setelah 2 jam dapat dilalui 2-3 jari. Setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari (  Mochtar, 1998 : 116 ).
e.       Ligamen-ligamen
Ligamen fasia dan diafragma pelvis berangsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tidak jarang uterus jatuh kebelakang dan menjadi retrofleksi, karena ligamen rotundum menjadi kendor (  Mochtar, 1997 : 116 ).
f.       Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut longgar karena diregang begitu lama, tetapi biasanya pulih kembali dalam 6 minggu (Sulaiman S, 1983 : 317).
g.      Saluran Kencing
Sulit kencing karena sfingter uretra ditekan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi musculus sfingter ani selama persalinan, juga oleh karena adanya oedem kandung kemih yang terjadi selama persalinan.  (Mochtar, 1998 : 117 ).
Proses involusi terjadi karena adanya :
Autolysis : Zat protein dinding rahim dipecah, diabsorbsi dan kemudian dibuang dengan urine (Sastrawinata, 1983 : 315).
Aktivitas otot-otot : Otot- otot uterus berkontraksi segera postpartum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman-anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan (Wiknjosastro, 2006 : 238).
Ischemia (Local anemia) : Yaitu kekurangan darah pada uterus, disebabkan akibat pengurangan aliran darah yang pergi ke uterus di dalam masa hamil, sehingga jaringan otot-otot uterus mengalami atrofi kembali ke ukuran semula (Ibrahim, 1993 : 12).
2.      Lochea
Adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa nifas
a.       Lochea Rubra ( Cruenta )
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel decidua, verniks kaseosa, lanugo dan mekonium, selama 2 hari pasca persalinan.
b.      Lochea Sanguinolenta
Berwarna merah, coklat kekuningan berisi darah dan lendir,hari 3-7 pasca persalinan.
c.       Lochea Serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari 7-14 pasca persalinan.
d.      Lochea Alba
Cairan putih setelah 2 minggu.
e.       Lochea Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
f.       Locheaostasis
Lochea tidak lancar keluar.
(  Mochtar, 1998 : 116 ).
3.      Laktasi
Untuk menghadapi masa laktasi ( menyusukan ) sejak dari kehamilan telah terjadi perubahan-perubahan pada kelenjar mammae yaitu :
a.       Proliferasi jaringan pada kelenjar – kelenjar alveoli dan jaringan lemak bertambah
b.      Keluar cairan susu jolong dari duktus laktiferus disebut colostrum, berwarna kuning putih susu.
c.       Hipervaskularisasi  pada permukaan dan bagian dalam, dimana vena – vena berdilatasi sehingga tampak jelas.
d.      Setelah persalinan, pengaruh estrogen dan progesteron hilang. Maka timbul penraruh hormon laktogenik ( LH ) atau prolaktin yang akan merangsang air susu. Di samping itu pengaruh oksitosin menyebabkan mio-epitel kelenjar susu berkontraksi sehingga air susu keluar. Produksi ASI akan banyak sesudah 2-3 hari pasca persalinan. Bila bayi mulai disusui, isapan pada puting susu merupakan rangsangan psikis yang secara reflektoris mengakibatkan oksitosin dikeluarkan oleh hypofise. Produksi ASI akan lebih banyak. Sebagai efek positif adalah involusi uteri akan lebih sempurna. Disamping ASI merupakan makanan utama bayi yang tidak ada bandingannya, menyusukan bayi sangat baik untuk menjelmakan rasa kasih sayang antara ibu dan anaknya.
(  Mochtar, 1998 : 117 ).

A.          PENGKAJIAN
1.      Data Subyektif
a.       Biodata
1.      Nama
Ditanyakan nama dengan tujuan agar dapat mengenal atau memanggil penderita agar tidak keliru dengan penderita – penderita lain ( Ibrahim, 1993 : 84 ).
2.      Umur
Dalam kurun Reproduksi sehat dikenal usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2006 : 23 ).
3.      Pendidikan
Pendidikan rendah atau tidak berpendidikan akan sulit menerima penjelasan  yang diberikan walaupun pada akhirnya insting keibuan akan lebih berperan dalam  perawatan bayinya. (Ibrahim, 1996 : 28).
4.      Pekerjaan
Untuk mengetahui bagaimana taraf hidup dan sosial ekonomi agar nasehat kita nanti sesuai ( Ibrahim, 1993 : 85 ).
5.      Perkawinan
Ditanyakan kepada ibu itu berapa lama dan berapa kali kawin. Ini akan membantu menentukan bagaimana keadaan alat kelamin dalam ibu itu ( Ibrahim, 1993 : 85 ).
6.      Agama
Agama ditanyakan berhubungan dengan perawatan penderita, misalnya dari agamanya tidak boleh makan daging hewan tertentu.
Dalam keadaan yang gawat ketika memberi pertolongan dan perawatan dapat diketahui dengan siapa harus berhubungan, misalnya pada agama katolik memanggil pastur dll ( Ibrahim, 1993 : 85 ).
7.      Kebangsaan
Ini perlu ditanyakan untuk mengadakan statistik yentang kelahiran ( Ibrahim, 1993 : 85).
b.      Keluhan Utama
Alasan mencari pertolongan : merasa tidak nyaman setelah persalinan. Keluhan yang dirasakan : Kurangnya pengetahuan mengenai menyusui dan perawatan bayi ( Hamilton, 1995 : 286 ).



c.       Riwayat Kesehatan
1.      Anemia post partum akan menyebabkan :
Ø  Terjadi sub involusi uteri menimbulkan perdarahan post partum
Ø  Memudahkan infeksi puerperium
Ø  Pengeluaran ASI berkurang
Ø  Terjadi dekompensasi kodis mendadak setelah persalinan
Ø  Anemia kala nifas
Ø  Mudah terjadi infeksi mammae ( Manuaba, 1998 : 32).
2.      Kencing manis / diabetes lebih sering mengakibatkan infeksi nifas dan sepsis, serta menghambat penyembuhan luka jalan lahir, baik karena ruptur perineum maupun luka episiotomi ( Wiknjosastro, 2006 : 521 ).
3.      Setelah bayi dilahirkan, penderita dapat tiba-tiba jatuh kolaps yang disebabkan darah tiba-tiba membanjiri tubuh ibu sehingga kerja jantung menjadi sangat bertambah. Karena itu penderita harus tetap diawasi dan dirawat sekurang-kurangnya 2 minggu setelah bersalin (  Mochtar, 1998 : 140 ).
4.      Penyakit TBC
Ibu dengan tuberculosis aktif tidak dibenarkan untuk memberikan ASI karena dapat menularkan pada bayi ( Manuaba, 1998 : 275 ).
5.      Ibu dengan hepatitis dapat menularkan pada anaknya yang terjadi saat lahir melalui pencernaan menelan darah dari perlukaan jalan lahir, ASI, dan kontak langsung dengan sekret dari ibu ( Wiknjosastro, 2006 : 560 ).
d.      Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat genetic atau berkaitan dengan medis ( Varney, 2002 : 186 )
Apakah dari keluarga ibu atau orang  yang  tinggal  bersama ibu ada yang sakit,  terutama penyakit yang sangat menular  yang sangat  kronis. Bila ada penyakit menular dapat lekas menular pada ibu dan  bayi. Ditanyakan pula mungkin dari keluarga ibu atau suaminya ada yang berpenyakit keturunan misalnya jiwa, diabetes, hemofili karena mungkin ada pengaruh keturunan terhadap janin ( Ibrahim, 1993 : 86 ).
e.       Riwayat Kebidanan
1)      Haid
Anamnesa haid memberikan kesan pada kita tentang faal alat kandungan ( Sulaiman, 1983 : 154 ).
Lamanya siklus haid pada setiap wanita tidak sama, siklus haid yang normal adalah 28 hari, tetapi siklus ini bisa maju 2-3 hari atau mundur sampai 3 hari ( Pusdiknakes, 1993 : 18).
2)      Riwayat Kehamilan
Pda TM 1 sering ditemukan emesis ringan, fatigue, sering BAK. Pada TM II mengeluh sulit tidur,pegal di daerah panggul, rasategang sewaktu-waktu di perut,oedem kaki yang menghilang di pagi hari. TM III mengeluh nyeri pinggang, sering BAK, obstipasi,oedem tungkai da kram kaki.
ANC di tempat pelayanan kesehatan minimal 4 kali ( Depkes RI, 1996 : 5 ).
Atau biasanya juga 1 kali sebulan  sampai bulan keenam. Dua kali sebulan dari bulan keenam sampaibulan kesembilan. Satu kali seminggu pada bulan terakhir ( Sastrawinata, 1983 : 168 ).
Mulai pergerakan anak usia 20 minggu. TT diberikan 2 kali dengan interval minimal 4 minggu. Nasehat yang diberikan meliputi gizi pada ibu hamil, personal hygiene, aktifitas, perawatan payudara, tanda kehamilan resiko tinggipentingnya ANC dan imunisasi ( Wiknjosastro, 2002 : N2.).
Ibu mendapat terapi Fe 90 tablet, B6 30 tablet, B12 30 tablet dan Iodium 1 buah ( Depkes RI, 1994 : 46 ).
3)      Riwayat Persalinan
Kala I     :  Untuk primi 11 jam, multi 7 jam. His pembukaan cervik sampai terjadi pembukaan lengkap 10 cm mulai kuat, teratur dan sakit
Kala II    :  Untuk primi 2 jam , multi 1 jam, persalinan spontan dan BBL sehat dan normal
Kala III  :  Placenta lahir      spontan lengkap. Primi ½ jam , multi ¼ jam
Kala IV  :  2 jam post partum pendarahan tidak boleh lebih dari 500 cc
(Mochtar, 1998 : 94).
4)      Riwayat nifas
Masa nifas yang lalu tidak ada penyakit seperrti pendarahan post partum dan infeksi nifas. Maka diharapkan nifas saat ini juga tanpa penyakit. Ibu menyusui sampai usia anak 2 tahun. Terdapat pengeluaran lochea rubra sampai hari ketiga berwarna merah. Lochea serosa hari keempat sampai kesembilan warna kecoklatan. Lochea alba hari kesepuluh sampai kelimabelas warna putih dan kekuningan. Ibu dengan riwayat pengeluaran lochea punulenta, lochea statika, infeksi intra uterin, rasa nyeri berlebih memerlukan pengawasan khusus. Dan ibu meneteki kurang dari 2 tahun. Adanya bendungan ASI sampai terjadi abses payudara harus dilakukan observasi yang tepat ( Manuaba, 1998 : 193 ).  
5)      Riwayat  KB
Konstrasepsi yang bisa digunakan oleh ibu pasca salin adalah suntikan, implant, AKDR, pil KB, untuk yang kontap syaratnya usia ibu harus > 35 tahun, jumlah anak >2, slain itu bisa menggunakan kondom,jelly atau tissue (Manuaba, 1998 : 439).
e.       Pola kebiasaan sehari-hari
1)      Nutrisi
Ibu menyusui harus
§  Mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari
§  Makan dengan diet seimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan vitamin yang cukup
§  Minum sedikitnya 3 liter air setiap air ( anjurkan ibu untuk minum setiap kali menyusui)
§  Pil zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya selama 40 hari pasca bersalin
§  Minum kapsul vitamin A (200.000 unit )agar bisa memberikan vitamin A kepada bayinya melalui ASI nya ( Saifuddin, 2006 : N25 ).
2)      Personal hygiene
§  Anjurkan kebersihan seluruh tubuh
§  Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air dari depan ke belakang, baru membersihkan daerah sekitar anus
§  Nasehatkan pada ibu untuk membersihkan vulva setiap kali selesai BAK/BAB
§  Sarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya 2x sehari
§  Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabundan air sebelum dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya
§  Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka ( Saifuddin, 2006 : N24-N25).
Perawatan Payudara
1.                                          menjaga payudara tetap bersih dan kering,terutama puting
2.                                          mengguakan BH yang menyokong payudara
3.      apabila puting susu lecet, oleskan ASI pada sekitar puting setiap selesai menyusui
4.      jika lecet berat, istirahatkan 24 jam. ASI dikeluarkan dan diminumkan dengan sendok
5.      untuk menghilangkan nyeri, ibu dapat minum parasetamol 1 tablet tiap 4-6 jam
6.      jika payudara bergerak akibat bendungan ASI , lakukan :
·         pengompresan payudara dengan kain basah dan hangat selama 5 menit
·         urut payudara dari arah pangkal ke puting
·         keluarkan ASI sebagian sehingga puting susu lebih lunak
·         susukn bayi tiap 2-3 jam . jika tidak dapat mengisap seluruh ASI –nya, sisanya dikeluarkan dengan tangan
·         letakkan kain dingin pada payudara setelah menyusui ( Saifuddin, 2002 : N27).
3)      Istirahat
§  Anjurkan agar ibu istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan
§  Sarankan ibu untuk kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi tidur
§  Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal
§  Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi
a.       Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak pendarahan
b.      Menyebabkan depresi dan ketidak mampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri (Saifuddin, 2002 : N25).
4)      Eliminasi
BAK : harus BAK dlam waktu 6 jam post partum, bila 8 jam post partum belum BAK, dirangsang dengan air mengalir, kompres hangat dan lain-lain. Bila tidak bisa dilakukan kateterisasi
BAB : jika pada hari ke-3 blum BAB, berikan laxansia dan diet tinggi serat (sayur-sayuran, buah-buahan) (Sastrawinata, 1983 : 325).
5)      Sexual
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa nyeri ( Saifuddin, 2006 : N27).

6)      Latihan
8 jam post partum ibu harus tidur terlentang untuk mencegah terjadinya pendarahan post partum. Setelah 8 jam boleh miring ke kiri ke kanan untuk mencegah trombosis lalu duduk,berjalan dan latihan-latihan senam ( Wiknjosastro, 2006 : 242).
Senam Nifas
Senam yang dilakukan pada masa nifas
Tujuan :
§  Memulihkan kekendoran otot sesudah kehamilan dan persalinan
§  Memperkuat otot-otot yang mengendor waktu kehamilan
§  Memperlancar pengeluaran Lochea
§  Mempercepat involusi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam senam nifas
§  Ibu nifas cukup sehat berdasarkan pemeriksaan dokter
§  Ibu tidak mempunyai komplikasi ( Post SC, infeksi puerpueralis )
§  Dimulai dari yang amat ringan, misal : menarik nafas panjang, miring kiri dan miring kanan
Beberapa gerakan dan fungsinya
1.      Untuk meratakan perut dan merampingkan pinggul
v  Berbaring terlentang dengan kedua lutut dibengkokkan. Tarik ke dalam otot-otot dinding perut dan pertahankan dengan penguat perut, angkat kepala dan bahu serta julurkan tangan ke arah kaki.
v  Merangkak dengan tangan dan lutut di lantai. Tarik otot-otot perut agar masuk dan bengkokkan lutut kanan ke dagu, kemudian luruskan kebelakang sebelum menempatkannya ke bawah lagi.
v  Duduk di atas panggul kiri dengan tungkai dibengkokkan ke kanan. Berlutut tegak lurus dan ubah sehingga anda duduk diatas panggul.
v  Berbaring terlentang dengan kedua lutut dibengkokkan tnggi keatas, masukkan otot-otot dinding perut, serta julurkan tangan kanan melintang diatas dada serta menggapai kebawah kearah pergelangan kaki kiri.
v  Berbaring terlentang dangan tangan lurus disamping tubuh, angkat tungkai kanan dan bawa kearah tangan kiri yang memuntir dari pinggang serta pertahankan lengan rata pada lantai.
v  Duduk pada lantai dengan punggung lurus dan lengan dijulurkan ke depan, pertahankan perut ke dalam dan kemudian berjalan maju lalu mundur.
2.      Memperkuat dasar panggul
Berbaring terlentang diatas lantai dengan kaki diatas bangku. Tarik ke atas dasar panggul dan kemudian angkat bokong keatas sehingga badan membentuk garis lurus dari tumit ke bahu lalu turunkan perlahan-lahan.
3.      Membentuk payudara
Dengan duduk, berdiri atau berlutut pertahankan lengan horisontal di depan dengan masing-masing tangan mencekaplengan diatas, sisi yang lain tetap diatas siku, cekap masing-masing lengan dengan kuat dan dorong lengan bersama-sama, pertahankan kemudian istirahat.
7)      Riwayat ketergantungan
Jamu untuk melancarkan peredaran darah juga untuk laktasi dan menguatkan badan ( Ibrahim, 1993 : 32 ).
Kebiasaan merokok, minum alkohol dan kecanduan narkotik secara langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi ( Manuaba, 1998 : 140 ).
Merokok dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah  di dalam tubuh, termasuk pembuluh – pembuluh darah pada uterus sehingga menghambat proses involusi, sedangkan alkohol dan narkotik mempengaruhi kandungan ASI yang mempengaruhi langsung perkembangan psikologis bayi dan mengganggu proses bonding antara ibu dan bayi.
8)      Sosial budaya
Kebiasaan yang tidak bermanfaat bahkan membahayakan :
Ø  Menghindari makanan berprotein, seperti ikan / telur karena ibu menyusui perlu tambahan kalori sebesar 500 kalori/hari.
Ø  Penggunaan bebet perut segera pada masa nifas (2-4 jam pertama )
Ø  Penggunaan kantong es atau pasir untuk menjaga uterus berkontraksi karena merupakan perawatan yang tidak efektif untuk atonia uteri
Ø  Memisahkan bayi dari ibunya untuk masa yang lama pada 1 jam pertama setelah kelahiran karena masa transisi adalah masa kritis untuk ikatan batin ibu dan bayi untuk memulai menyusu ( Saifudin, 2002 : N29 ).
9)      Keadaan psikososial spiritual
Bonding terjadi saat ibu dan ayah menerima dan mengenali bayinya, senyum, memeluk, meneliti dan memberikan tanda positif tentang bayinya. Reaksi negatif seperti sedikit menggendong bayi, menjadi apatis dan memberikan tanda tidak baik bagi bayinya. Bila orang tuia merasakan poisitif tentang bayinya seperti mereka lebih banyakmendapat ketrampilan dalam perawatan anak dan sedikit kemungkinan untuk memperlakukan anak dengan salah atau melalaikan bayinya disaat mendatang ( Hamilton, 1995 : 293 ).
Menurut beberapa penelituan, menerima peran sebagai orang tua meliputi tahap ketergantungan ( Taking-In ) :
Ø  Tejadi pada hari ke-1 dan 2 post partum
Ø  Menurut Rubin ( 1961 ) saat tersebut adalah ‘fase taking-in ‘ ( menerima yaitu waktu dimana ibu membutuhkan perlindungan dan pelayanan )
Ø  Memfokuskan energi pada bayinya dan selalu membicarakan pengalaman melahirkan berulang-ulang
Ø  Masa ini mempersulit dan mengurangi ketrampilannya untuk berkonsultasi pada informasi baru, maka instruksi harus berkali-kali
( Hamilton, 1995 :294 ).

2.      Data Obyektif
a.       Pemeriksaan Umum
Kesadaran penderita dan keluhan yang terjadi setelah melahirkan (Manuaba, 1998 : 194 ).
b.      Tanda-tanda vital
Ø  Tekanan darah : pada beberapa kasus ditemukan keadaan hypertensi post partum. Tetapi ini akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam 2 bulan  tanpa pengobatan (Sarwono, 2006 : 241 ).
Ø  Nadi : Nadi berkisar umumnya antara 60-8- denyutan/menit. Segera setelah partus dapat terjadi brakhikardia. Bila terdapat takikardi sedangkan badan tidak panas, mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vikum kardis pada penderita. Pada masa nifas umumnya denyut nadi lebih labil dibandingkan suhu badan ( Wiknjosastro, 2006 : 214 ).
Ø  Suhu : Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37,2ºC. Sesudah partus dapat naik 0.5ºC dari keadaan normal tetapi tidak melebihi 38ºC, sesudah 12 jam pertama melahirkan umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan lebih dari 38ºC mungkin ada infeksi ( Wiknjosastro, 2006 : 240 ).
Ø  Pernafasan : Keadaan pernafasan akan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan juga akan mengikutinya (Ibrahim, 1993 : 79).


c.       Pemeriksaan Fisik
Ø  Mata : Observasi terutama konjungtiva apakah pucat ? ( Depkes RI,1994 ).
Ø  Muka : Setelah melahirkan, warna muka ibu akan kelihatan pucat, disebabkan adanya perdarahan ( Christina, 1993 : 79 ).
Ø  Mulut : Observasi bibir dan rongga mulut. Apakah bibir k.ering atau pucat ? Warna rongga mulut, sariawan dan bau mulut. Observasi lidah untuk mengetahui bentuk dan warnanya ( Depkes RI, 1994 : 21 ).
Ø  Gigi : Observasi gigi dan gusi, apakah ada karies, gigi palsu, gigi yang hilang, infeksi gusi dan sariawan ( Depkes RI, 1994 : 21 ).
Ø  Dada : Pernafasan normal, irama teratur, tidak ada wheezing yang merupakan asma, bunyi jantung normal.
Ø  Payudara : Keadaan buah dada pada 2 hari pertama nifas sama dengan keadaan dalam kehamilan. Pada waktu ini buah dada belum mengandung susu, melainkan colostrum yang dapat dikeluarkan dengan memijat areola mammae ( Sastrawinata, 1983 : 318 ).
Ø  Abdomen : Setelah placenta lahir TFU ± 2 jari bawah pusat ( Sarwono, 2006 : 237 ).
Kontraksi uterus baik artinya uterus menjadi keras, atau kontraksi lembek, uteris terasa lemah ( Ibrahim, 1993 : 80 ).
Ø  Kandung kemih : Dinding kandung kemih memperlihatkan oedema dan hiperanemia, kurang sensitif dan kapasitasnya bertambah ( Sastrawinata, 1983 : 318 ).
Dalam waktu 6 jam harus bisa kencing, kalau sampai 8 jam PP belum dapat kencing / kencing belum melebihi 100 cc, maka dilakukan kateter, kandung kencing harus diusahakan tetap kosong ( Sastrawinata, 1983 : 326 ).
Ø  Genetalia : Luka-luka pada jalan lahir bila tidak ada infeksi akan sembuh dalam 6-7 hari . Lochea Rubra ( cruenta ) berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel decidua, verniks kaseosa, lanugo dan mekonium ( Rustam Mochtar, 1998 : 116 ).
Perineum ada luka episiotomi / ruptur harus bersih, tidak berwarna, tidak oedema dan jahitan harus tertaut dengan baik ( Hamilton, 1995 : 282 ).
Ø  Ekstremitas : Normal, tidak terdapat flegmasia alba dolens yang merupakan salah satu bentuk infeksi puerperalis yang mengenai pembuluh darah vena femoralis yang terinfeksi dan disertai pembentukan trombosit. Dapat menimbulkan gejala klinik : bengkak pada tungkai, berwarna putih, terasa sangat nyeri, tampak bendungan pembuluh darah, suhu tubuh meningkat
( Manuaba, 1998 : 316 ).
d.      Pemeriksaan penunjang
e.       Terapi yang didapat
Ø  Pil zat besi 40 tablet
Ø  Vitamin A 200.000 unit ( Saifuddin, 2002 : N26).

B.           ANALISA DATA / DIAGNOSA KONDISI
Diagnosa Kondisi :
Ibu post partum, P APIAH, jam / hari, jenis persalinan spontan, belakang kepala,anak hidup,jenis kelamin,laktasi bagaimana,involusa baik atau tidak, lochea yang keluar, kontraksi uterus, keadaan umum.
Dangan masalah
1.      Resiko tinggi terhadap infeksi
2.      Resiko tinggi terhadap perdarahan ( Hamilton,  1995 : 282 ).
3.      Potensial kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan bayi
4.      Potensial kurangnya pengetahuan ibu mengenai  menyusui, hubungan seksual, dan kontrasepsi
5.      Potensial pecahnya puting susu dan mastitis sampai dengan kegiatan menyusui ( Hamilton, 1995 : 295 ).


C.          PERENCANAAN
Ibu post partum, P APIAH, jam / hari, jenis persalinan spontan, belakang kepala,anak hidup,jenis kelamin,laktasi bagaimana,involusa baik atau tidak, lochea yang keluar, kontraksi uterus, keadaan umum.
Tujuan : masa nifas berjalan normal tanpa komplikasi bagi ibu dan bayi
Kriteria :
                        KU ibu baik
                        T  : 110/70 mmHg – 130/80 mmHg
                        N :  60 x / menit – 80 x / menit
                        S :  36 – 37,5 °C
                        Rr : 16 – 24 x / menit
                        Kontraksi uterus baik ( bundar dan keras )
                        Laktasi lancar
Involusi menurun secara bertahap, lochea normal : perubahan warna sesuai tahapan hari-hari, pengeluaran lochea lancar, tidak berbau.
                        KU bayi baik
                        Rr :  30 – 60 x / menit
                        S  :  36,5 – 37,5 ºC
         Warna kulit kemerahan ( Wiknjosastro, 2002 : N32 ).
Intervensi :
a.       Jelaskan pada ibu tentang fisiologi nifas
R/     Ibu dapat beradaptasi dan menyesuaikan dengan keadaan sekarang
b.      Observasi KU ibu dan TTV
R/     Jika ditemukan suhu tubuh tinggi merupakan tanda dari febris purpueralis
c.       Observasi keadaan proses involusi, TFU, kontraksi uterus dan pengeluaran lochea
R/     Bila ditemukan TFU tidak sesuai dengan hari setelah persalinan merupakan tanda sub involusi
d.      Ajarkan vulva hygiene yang benar
R/     Genetalia yang kotor dan pengeluaran lochea yang berbau busuk merupakan media kuman dan terjadinya infeksi
e.       Anjurkan ibu untuk mobilisasi dini
R/     Tirah baring > 8 jam PP merupakan faktor terjadinya trombosis dan tromboemboli
f.       Anjurkan ibu makan dengan nutrisi bagus dan seimbang
R/     Lancar tidaknya ASI dan kesembuhan luka jahitan dapat dideteksi dengan gizi yang adekuat
g.      Pengawasan nyeri pada alat genetalia, perineum dan mammae
R/     Nyeri yang berlanjut merupakan tanda infeksi
h.      Ajarkan tentang perawatan payudara
R/     Puting lecet merupakan port de enter
( Pusdiknakes WHO,JHPIEGO.2001 )
Diagnosa Masalah
1.      Resiko tinggi terhadap infeksi
Tujuan : Ibu bebas dari infeksi
Kriteria :
         Tidak terjadi panas / demam
                     Lochea normal, perubahan warna sesuai tahapan hari-hari
                     TTV normal :
                     T  : 110/70 mmHg – 130/80 mmHg
                     N :  60 x / menit – 80 x / menit
                     S :  36 – 37,5 °C
                     Rr : 16 – 24 x / menit
               Intervensi :
a.       Observasi tekanan darah, suhu dan nadi
R/     Kenaikan suhu 38°C dalam 24 jam pertama dan terulang selama 2 hari menandakan infeksi
b.      Observasi kontraksi dan pengeluaran lochea
R/     TFU pada awal post partum ±2 cm dibawak pusat, bila meningkat 1-2 cm/ hari menandakan adanya sub involusi. Hal ini terjadi mungkin karena jaringan placenta tertinggal mengakibatkan infeksi
c.       Perhatikan jumlah urin dan lihat tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/     Urine yang tetap meningkatkan  resiko terhadap infeksi saluran kemih
d.      Ajarkan vulva hygiene yang benar
R/     Mencegah penyebaran infeksi
e.       Anjurkan ibu makan makanan tinggi protein, vitamin C dan zat besi serta minum air ± 3 liter/hari
R/     Meningkatkan daya tahan tubuh
( Pusdiknakes WHO,JHPIEGO.2001 )
           
2.      Resiko tinggi terhadap perdarahan
Tujuan : Perdarahan tidak terjadi
Kriteria :
            KU ibu baik,tidak anemis,konjungtiva palpebrae merah muda
            Kontraksi uterus baik, perdarahan tidak lebih dari 500 cc
            Intervensi
a.       Observasi kontraksi  uterus, keadaan kandung kemih
R/     Kandung kemih penuh mengganggu kontraksi uterus dan menyebabkan perubahan posisi dan relaksasi fundus
b.      Observasi intake dan output cairan
R/     Mencegah dehidrasi
( Pusdiknakes WHO,JHPIEGO.2001 )
3.      Potensial kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan bayinya
Tujuan : Ibu dapat melakukan  perawatan diri dan bayinya secara mandiri
Kriteria : Ibu dapat melakukan teknik perawatan diri dan bayinya dengan benar
Intervensi :
a.       Kaji lebih lanjut tentang pengetahuan ibu  mengenai perawatan nifas dan bayi
b.      Berikan penjelasan tentang perawatan nifas dan bayi yang dapat dilakukan  ibu dengan teknik yang benar
c.       Lakukan demonstrasi sekaligus bersama ibu tentang teknik perawatan nifas, bayi dan benarkan jika ibu melakukan kesalahan 
( Pusdiknakes WHO.JHPIEGO.2001 )
4.      Potensial kurangnya pengetahuan mengenai menyusui, hubungan seksual dan kontrasepsi.
Tujuan : Ibu dapat memahami penjelasan petugas
Kriteria : Ibu dapat menjelaskan kembali secara singkat seperti yang dijelaskan petugas.
Intervensi :
a.       Jelaskan tentang manajemen laktasi yang benar
R/  Ketidaktahuan ibu tentang laktasi akan berpengaruh buruk terhadap ASI dan bayi
b.      Jelaskan tentang KB yang tidak mempengaruhi laktasi
R/  Jelaskan hubungan seks setelah nifas
c.       Jelaskan tentang KB yang tidak mempengaruhi laktasi
R/  KB yang tidak baik pada ibu kemungkinan berpengaruh terhadap proses laktasi.(Pusdiknakes WHO.JHPIEGO.2001)
5.      Potensial pecahnya puting susu dan mastitis sampai dengan kegiatan menyusui
Tujuan     :    Tidak ada pecah puting dan mastitis
Kriteria    :    Laktasi lancar
                     Mamae tidak bengkak
Intervensi :  
a.       Jelaskan dan anjurkan cara perawatan payudara yang benar
R/  Jika ibu memahami perawatan payudara yang benar, maka kelancaran proses laktasi terjamin.
b.      Jelaskan dan anjurkan cara massage payudara yang benar
R/  Kelancaran laktasi dideteksi melalui cara perawatan payudara
c.       Jelaskan tentang manajemen laktasi
R/  Kepuasan bayi menyusui dan lancarnya pengeluaran ASI dapat diketahui dengan keadaan manajemen laktasi dari Ibu.
            (Wiknjosastro, 2006 : 259 – 280).



D.          PELAKSANAAN
Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh yang telah disusun dilaksanakan secara efisien dan aman.
Tindakan yang dilakukan bidan dalam memberikan asuhan kepada ibu nifas normal sesuai dengan rencana yang telah disusun berdasarkan diagnosa dan masalah yang telah timbul.
Didalam tahap ini bidan melakukan observasi  sesuai kriteria evaluasi yang di rencanakannya.
Beberapa hal yang mendapat perhatian dalam tahap pelaksanaan adalah;
-          Intervensi yang dilakukan harus berdasarkan prosedur tetap yang lazim di lakukan.
-          Pengamatan yang dilakukan secara cermat dan tepat sesuai dengan kriteria dan evaluasi yang telah ditetapkan.
-          Pengendalian keadaan pasien/ klien sehingga secara berangsur-angsur mencapai kondisi yang diharapkan.
     (Pusdiknakes, 1994).

E.           EVALUASI
Pada langkah ini dilakukan evaluasi klasifikasi dari asuhan yang mudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar telah terpenuhi sesuai kebutuhan sebagaimana telah didefinisikan didalam masalah diagnosa/ masalah.
Langkah evaluasi dalam asuhan kebidanan didokumentasikan dalam bentuk SOAP.
S    :  Subyektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesa
O   :  Obyektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan tes diagnosa lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung assesment.
A   :  Assesment
Menggambarkan interpretasi data subyektif dan obyektif dalam suatu identifikasi :
1.      Diagnosa/ masalah
2.      Antisipasi diagnosa lain/ masalah potensial
P    :  Plan
Menggambarkan pendokmentasian dari perencanaan evaluasi berdasarkan assesment.
         (Pusdiknakes, 1994 ).
























BAB II
TINJAUAN KASUS

A.    PENGKAJIAN DATA
  1. Data Subyektif
a.       Biodata
Nama                                    : Ny.I                                 Tn. E
Umur                                    : 25 tahun                          30 th
Agama                                  : Islam                               Islam
Suku/ Bangsa                       : Jawa/ Indonesia              Jawa/ Indonesia
Pendidikan                           : SMP                                SMP
Pekerjaan                              : Ibu Rumah Tangga         Wiraswasta
Penghasilan                          : -                                       Rp.600.000,-/bln
Status marital                       : Menikah                          Menikah
Umur kawin                         : 24 tahun                          29 tahun
Lama/ berapa kali kawin      : 1 tahun/ 1 x                     1 tahun/ 1 x
Alamat                                 : Dsn Pondok,Ds Macanan,Kec.Jogorogo
Tanggal/ jam pendataan       : 10 Juni 2010 pukul 13.00 WIB
Tempat pendataan                : Poned Puskesmas Jogorogo
Keluhan Utama
Ibu mengatakan nyeri pada payudara dan belum bisa BAB.
b.      Riwayat Kesehatan
1)      Riwayat Kesehatan Lalu
Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit seperti sesak nafas, jantung berdebar, batuk yang lama/ menahun, penyakit dengan gejala banyak makan, banyak minum dan sering kencing, penyakit tekanan darah tinggi, penyakit kuning dan penyakit dengan gejala mengeluarkan cairan dari kemaluan yang berbau dan membuat gatal.
2)      Riwayat Kesehatan Sekarang
Ibu mengatakan sekarang tidak sedang menderita penyakit seperti sesak nafas, jantung berdebar, batuk yang lama/ menahun, penyakit dengan gejala banyak makan, banyak minum dan sering kencing, penyakit tekanan darah tinggi, penyakit kuning dan penyakit dengan gejala mengeluarkan cairan dari kemaluan yang berbau dan membuat gatal. Ibu mengatakan pernah sakit batuk pilek dan sembuh setelah dibelikan obat ditoko.
3)      Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu mengatakan dari keluarga ibu atau suami tidak ada yang pernah menderita penyakit menurun seperti penyakit jantung, sesak nafas, dan kencing manis dan tidak ada yang menderita penyakit menular seperti batuk yang lama/ menahun dan penyakit kuning.
4)      Riwayat Kebidanan
-          Haid
Ibu mengatakan haid pertama kali pada usia 13 tahun, haid rutin setiap 28-30 hari, lamanya 5-7 hari. Pada hari pertama dan kedua ganti pembalut 3x sehari, hari ke 3 sampai selesai ganti pembalut 2x sehari. Pada hari pertama sampai ketiga darah keluar berwarna merah disertai sedikit gumpalan, pada hari keempat sampai selesai darah kaluar berwarna merah sedikit-sedikit kemudian menjadi kecoklatan. Ibu mengatakan mengeluh pada hari pertama haid, dan mengalami keputihan selama + 2 hari, berwarna putih jernih dan tidak berbau.
-          Riwayat kehamilan sekarang
Sejak hamil muda ibu tidak memiliki keluhan seperti mual atau muntah yang menghilang pada kehamilan 4 bulan, hanya beberapa kali ibu merasa pusing tetapi segera sembuh setelah istirahat. Selama hamil ibu rutin memeriksakan kehamilannya pada bidan, ibu periksa sebanyak 5 kali yaitu 1 kali pada kehamilan 4 bulan, 2 kali pada trimester II yaitu kehamilan 5 bulan dan kehamilan 6 bulan, 2 kali pada trimester III yaitu kehamilan 7 bulan dan kehamilan 9 bulan. Ibu mulai merasakan gerakan janin 4 bulan yang lalu. Pada saat periksa hamil ibu mendapat imunisasi TT 2 kali yaitu pada usia kehamilan 5 dan 6 bulan. Selain itu ibu juga mendapat vitamin antara lain vitamin B komplek, vitamin C, dan tablet Fe 90 tablet diminum semua, penyuluhan tentang perawatan payudara, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan melaksanakannya secara rutin di rumah.
-          Riwayat Persalinan Sekarang
Ibu mengatakan sudah lega melahirkan anak pertama pada tanggal 06-06-2010, pukul 14.30 WIB, bayi laki-laki, lahir spontan dan langsung menangis. BB 3900 gram, PB 51 cm, tidak ada kelainan. Pukul 14.35 placenta lahir spontan, lengkap, perdarahan + 200 cc, pada perineum terdapat luka episotomi dan dijahit, setelah bayi lahir bayi dirawat bersama ibu.
-          Riwayat Nifas Sekarang
Ibu mengatakan terasa nyeri pada daerah luka jahitan dan belum bisa BAB. Ibu mengatakan masih mengeluarkan cairan kekuningan dari kemaluan, tidak terlalu banyak, ibu sudah menyusui bayinya, namun sejak tadi jarang disusukan karena putting susu lecet membuatnya tidak nyaman. Ibu ingin memberi ASI saja sampai usia 6 bulan dan melanjutkannya sampai usia 2 tahun sesuai anjuran bidan.
-          KB
Sebelumnya ibu tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Setelah kelahiran anak pertama ini ibu berencana untuk menggunakan alat kontrasepsi. Dan alat kontrasepsi yang ibu pilih adalah suntik karena dirasa paling mudah.
5)      Pola Kebiasaan Sehari-hari
-          Nutrisi
Selama hamil   :  Ibu makan 3x sehari, porsi sedang habis, komposisi nasi, sayur (wortel, bayam, kangkung dan ketela), lauk (tahu, tempe, telur, kadang ayam atau daging), kadang ditambah buah pisang, semangka, jeruk.
Selama nifas    :  Makan 3 kali sehari, porsi sedang, habis, komposisi nasi, sayur (wortel,bayam ), lauk (tempe, tahu,kadang ayam atau daging) dan buah pisang, minum air putih + 4 gelas.
-          Eliminasi
Selama hamil   :  Waktu hamil muda, kencing 5-6 x sehari, berkurang pada hamil 4 bulan, kemudian pada akhir kehamilan sering lagi 6-7 x sehari. BAB 1 kali sehari sampai usia kehamilan 8 bulan. Pada usia kehamilan 9 bulan BAB 2 – 3 x sehari tetapi sedikit-sedikit dan agak lembek.
Selama nifas    :  Ibu sudah kencing 3 jam setelah melahirkan dan belum BAB sampai nifas hari ke-5. Pada hari ini ibu sudah kencing sekitar 3 kali.
-          Aktifitas
Selama hamil   :  Kegiatan ibu selama hamil melakukan kegiatan rumah tangga sehari-hari seperti memasak, menyapu dan mencuci.
Selama nifas    :  Ibu sudah berjalan-jalan sekitar rumah.
Istirahat/ Tidur
Selama hamil   :  Tidur siang + 1 jam dan tidur malam mulai pukul 21.00 dan bangun pukul 04.30 WIB.
Selama nifas    :  Setelah melahirkan ibu tidur + 1 jam, pada malam hari ibu tidur sebentar-sebentar karena sering terbangun saat bayinya menangis.
-          Personal Hygiene
Selama hamil   :  Ibu mandi 2 x sehari, gosok gigi 2 x, keramas 3 x seminggu, ganti baju 2 x sehari , ganti CD 2-3 x sehari. Membersihkan payudara setiap hari mulai usia kehamilan 7 bulan. Cebok setiap kali mandi dan selesai kencing atau BAB.
Selama nifas    :  Ibu mandi 2 kali sehari, gosok gigi 2 x dan ganti pembalut 3 x dalam 1 hari. Setelah  BAK, cebok dari arah depan ke belakang.
-          Riwayat Ketergantungan
Selama hamil   :  Ibu dan suami tidak mempunyai ketergantungan merokok, minum-minuman keras, minum obat bebas, dan minum jamu-jamuan.
Selama nifas    :  Ibu tidak memiliki ketergantungan obat-obatan apapun, ibu hanya minum obat dan vitamin yang diberikan bidan.
6)      Latar Belakang Sosial Budaya
Ibu tidak berpantang pada jenis makanan tertentu (seperti telur,daging dan ikan) . Tidak ada kebiasaan tidak keluar rumah sebelum 40 hari, ibu tidak membuang ASI yang keluar pertama kali,ibu tidak biasa pijat perut.
7)      Keadaan Psikososial dan Spiritual
Kehadiran bayi ini sangat diharapkan. Ibu dan keluarga sangat gembira dengan kelahiran anak dan cucu mereka. Sebagai umat Islam, dalam sholatnya ibu dan keluarga senantiasa memohon kesehatan dan keselamatan bagi ibu dan bayinya.
8)      Kehidupan Seksual
Selama 40 hari setelah persalinan ibu tidak akan melakuan hubungan dan berhubungan lagi setelah 40 hari.
  1. Data Obyektif
a.       Keadaan Umum
Kesadaran :  Komposmentis
b.      Tanda-tanda vital
T    :  110/70 mmHg          N   :  88 x/menit
S    :  37,5 °C                     R   :  18 x/menit

c.       Pemeriksaan antropometri
TB :  155 cm
BB :  45 kg
d.      Pemeriksaan fisik
1)      Penampilan
Cara berjalan normal, bentuk tubuh normal.
2)      Rambut/kulit kepala   
Rambut berwarna hitam, penyebaran merata, tidak rontok,tidak mudah dicabut, dan kulit kepala bersih
3)      Muka  
Tidak oedem, terlihat bersih, tidak sembab,
Mata   
Tidak ada oedem kelopak mata, conjumgtiva palpabera merah muda, sclera putih.
4)      Hidung           
Bentuk simetris, tidakada kelainan fungsi, tidak ada secret.
5)      Mulut/Gigi
Mulut bersih, tidak ada stomatitis, tidak ada caries gigi, dan tidak ada epulis.
6)      Telinga           
Bentuk simetris, tidak ada kelainan fungsi, bersih tidak ada serumen.
7)      Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan kelenjar tyroid,tidak ada bendungan vena jugularis.
8)      Thorax/ payudara       
Pernapasan normal, pembesaran payudara simetris, hiper pigmentasi areola mammae, kelenjar montgomeri tampak jelas, papilla menonjol dan lentur,tampak lecet. ASI sudah keluar namun payudara teraba penuh karena sejak pagi jarang disusukan.

9)      Abdomen
TFU teraba di pertengahan antara symphisis, kontraksi uterus baik, uterus keras dan bundar, posisi uterus ditengah dan kandung kemih kosong.DDR :2/3,ada perabaan skibala pada palpasi abdomen kiri bawah..
10)  Genetalia        
Ada luka episotomi dengan kondisi luka jahitan episotomi baik, tidak ada tanda-tanda infeksi, lochea sanguinolenta, tidak oedema dan tidak ada varises.
11)  Anus
Tidak ada hemoroid, bersih
Ekstremitas atas          :           Simetris, tidak oedema.
Ekstremitas bawah   :  Tidak oedema, tidak varises, simetris, tidak ada kelainan fungsi.
e.       Terapi yang didapat tanggal 06-06-2010
-          Amoxicillin 500gr 3 x 1
-          Asam mefenamat 3 x 1
-          Vitamin A
-          Fe 40 1 x 1
-          Yodium
f.       Keadaan Bayi pada Hari Ke-5
KU bayi baik
§  Kesadaran : sadar/tenang
§  Warna kulit kemerahan
§  Gerak aktif
§  Menetek kuat, reflek menghisap dan menelan baik
§  Turgor baik
§  Tonus otot baik
§  Tali pusat bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi
§  BB lahir : 3900 gram
§  BB waktu pemeriksaan : 3800 gram


Analisa Data
Tanggal/Jam
Diagnosa/ Masalah
Data Dasar
10-06-2010
Pukul 13.00

































10-06-2010    






10-06-2010

P10001, post partum hari ke 5, laktasi normal, involusi normal, lochea normal, KU ibu dan bayi baik.






























Bendungan ASI






Konstipasi

S  :  -  Ibu mengatakan sudah lega melahirkan anak pertamanya dengan selamat, tanggal 06 Juni 2010 pukul 14.30 WIB.
      -  Ibu mengatakan belum BAB pada hari ke-5   post partum
      -  Ibu mengatakan sudah menyusui bayinya namun sejak tadi pagi jarang disusukan.karena putting susu lecet
 O  :   -             Kontraksi uterus teraba keras dan bundar, TFU pertengahan pusat dan symphisis, lochea sanguinolenta (warna kuning kecoklatan, bau khas)
      -  Payudara tegang dan membesar, ASI sudah keluar (+/+),tampak putting susu lecet.
      -  KU bayi baik
          PB : 51 cm
          BB : 3800 gram
Kesadaran : sadar/tenang, Warna kulit kemerahan,Gerak aktif, Menetek kuat, reflek menghisap dan menelan baik, Turgor baik, Tonus otot baik, Tali pusat bersih, tidak ada tanda tanda infeksi, BB lahir : 3900 gram, BB waktu pemeriksaan : 3800 gr
S  :  Ibu mengatakan payudaranya terasa nyeri
O :  - Payudara ibu teraba tegang, penuh dan besar, areola dipencet keluar ASI.Tampak putting susu lecet.
       - Suhu tubuh Ibu 37,8 0C
S  :  Ibu mengatakan belum BAB selama 5 hari.
      BAK lancar 5-6 x sehari
O :  Palpasi abdomen kiri bawah ada perabaan skibala.
     

B.     DIAGNOSA
P10001, post partum hari ke 5, laktasi normal involusi normal, lochea normal, KU ibu dan bayi baik, dengan masalah bendungan ASI dan belum BAB Prognosa : Baik

C.  PERENCANAAN
Tanggal/ jam             :  10-06-2010 pukul 13.30 wib.
Diagnosa/ Masalah   :  P10001, post partum hari ke 5, Laktasi normal, involusi normal, lochea normal, KU ibu dan bayi baik.
Tujuan dan Kriteria  :  Ibu dapat melewati masa nifas dengan lancar tanpa komplikasi.
Kriteria                     : 
-          KU ibu baik
T : 110/70 – 140/90 mmHg
N : 76 – 84 x/menit
R : 16 – 24 x/menit
S : 365 °C – 375 °C
-   ASI keluar lancar
-          TFU turun 1 cm perhari, hingga hari ke 10 tidak teraba lagi
-          Kontraksi uterus baik, teraba keras dan bundar
-          Lochea lancar dan normal, perdarahan tidak lebih dari 500 cc
-          Lochea rubra hari ke 1-2
-          Lochea sanguinolenta hari ke 3-4
-          Lochea serosa hari ke 5-9
-          Lochea alba hari ke 10
-          Eliminasi lancar
-          Intervensi :
1.      Beri tahu hasil pemeriksaan pada ibu
R/     Ibu mengetahui keadaan dirinya dan lebih kooperatif dengan tindakan yang   akan dilakukan.
2.      Beri penjelasan tentang fisiologi nifas.
R/     Ibu memahami perubahan-perubahan yang terjadi pada ibu nifas
3.      Beritahu ibu tanda bahaya masa nifas/ patologis nifas
R/     Deteksi dini adanya kelainan sehingga bisa segera ditangani
4.      Beritahu ibu tentang kebutuhan dasar ibu nifas yang meliputi : nutrisi, personal hiegiene, aktivitas, istirahat, perawatan payudara, senam nifas, perawatan bayi baru lahir.
R/     Ibu bisa menjalankan aktivitas sehari-hari selama masa nifas dengan baik.
5.      Observasi TTV (Tensi, Nadi, Suhu, Pernapasan), eliminasi, perdarahan   kontraksi uterus, TFU dan laktasi dan lochea.
R/     Deteksi dini adanya kelainan sehingga dapat segera ditangani
6.      Berikan terapi Fe 40 butir /1x1 hari,dan asam mefenamat 3x1 /hari dan jelaskan cara meminumnya
R/     Fe mencegah anemia selama post partum,asam mefenamat mengurangi nyeri.
7. Lakukan kunjungan ulang 3 hari lagi ( 13-06-2010 )

Tanggal/ jam             :  10-06-2010 pukul 13.35 WIB.
Diagnosa/ Masalah   :  Bendungan ASI.
Tujuan dan Kriteria  :  Ibu dapat menyusui dengan lancar.
Kriteria                     :  -     Rasa nyeri pada payudara berkurang.
                                    -     Payudara tidak tegang,putting susu tidak lecet.
                                    -     Ibu merasa nyaman.
                                    -     Bayi bisa menyusu dengan lancar.
Intervensi :
  1. Jelaskan pada ibu tentang pengertian bendungan ASI dan fisiologinya.
R/     Ibu akan mengerti dengan masalahnya, sehingga tidak perlu cemas.
  1. Jelaskan pada ibu tentang cara mengatasinya.
R/     Ibu bisa mengurangi rasa nyeri pada payudara dan bisa menyusui dengan lancar.
  1. Jelaskan pada ibu tentang manajemen laktasi
R/     Teknik menyusui yang benar bisa membuat ibu dan bayi nyaman.

Tanggal/ jam             :  10-06-2010 pukul 13.40 WIB.
Diagnosa/ Masalah   :  Konstipasi
Tujuan dan Kriteria  :  Ibu dapat BAB setelah post partum
Kriteria                     :  -    Ibu bisa BAB tanpa rasa takut.
                                    -     Ibu merasa nyaman.
                                  
Intervensi :
1.   Berikan penjelasan tentang eliminasi post partum yang normal.
 R/       Ibu mengerti bahwa ibu harus bisa BAK 6 jam post partum dan BAB 3 hari post partum.
2.   Anjurkan makan-makanan yang mengandung karbohidrat,protein dan tinggi serat
R/        Mempermudah pengeluaran faeces,membantu metabolisme usus.
3.      Anjurkan untuk minum ±8-10 gelas perhari dan air hangat.
R/     Mencegah agar tidak terjadi pengerasan faeces.
4.   Anjurkan ibu untuk mobilisasi umum
 R/          Memperlancar peredaran dan membantu peristaltic usus.
   5.Berikan obat pencahar bila lebih dari 3 hari belum bisa BAB.
R/     Dengan pemberian pencahar,akan membantu  meningkatkan peristaltic usus dan melunakkan konsistensi faeces.
D.  PELAKSANAAN
a.   10-06-2010 pukul 13.45 WIB
Diagnosa/ Masalah   :  P10001, post partum hari ke 5, Laktasi normal, involusi normal, lochea normal, Ku ibu dan bayi baik
Implementasi  :
1.    Menjelaskan tentang hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga bahwa keadaan ibu baik dan bayi sehat.
2.    Menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa nifas meliputi:
-      Laktasi       :    Keseluruhan proses menyusui mulai ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI.
-      Involusi      :    Proses kembalinya alat-alat kandungan ke dalam semula seperti sebelum hamil karena fungsinya telah selesai yaitu memberikan tempat untuk janin dan memberikan nutrisi.
-      Lochea       :    Pengeluaran cairan / sekret yang berasal dari rahim melalui jalan lahir
                          ·   Hari ke 1-2 PP berwarna merah segar
                          ·   Hari ke 3-7 PP berwarna merah kekuningan
                          ·   Hari ke 7-14 PP berwarna kekuningan
                          ·   Lebih dari 14 hari berwarna putih.        
3.    Menjelaskan kepada ibu tentang patologis nifas, yaitu :
-      Demam tinggi
-      Perdarahan berlebihan dari vagina
-      Penglihatan kabur
-      Pusing berlebihan
-      Infeksi luka jahitan perineum
4.    Menjelaskan tentang kebutuhan dasar ibu nifas, meliputi :
 ·    Nutrisi
-      Menganjurkan ibu untuk makan makanan yang bergizi dan tambahan 500 kalori per hari, porsi 1-2 piring lebih banyak dari biasanya.
-      Sebaiknya makanan yang mengandung cukup protein, cairan, sayur-sayuran dan buah-buahan karena wanita masa nifas mengalami hemokonsentrasi.
-      Minum air putih 8-10 gelas /hari dan bila perlu ditambah susu.
                     ·     Eliminasi
       Menganjurkan ibu untuk BAK dan BAB secara teratur dan menghindari menahannya bila ada rangsangan. Karena bila ditahan akan menghambat proses involusi rahim.
·     Personal Hygiene
-      Menganjurkan ibu mandi 2x /hari, membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air bersih dari depan ke belakang (dari vulva ke anus) setiap BAK dan BAB.
-      Menyarankan ibu mengganti pembalutnya tiap kali basah atau minimal 2x/hari.
-      Menyarankan ibu untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah membersihkan daerah vulva.

·     Istirahat / Tidur
-      Menganjurkan ibu untuk istirahat cukup, tidur siang/beristirahat saat bayinya tidur untuk mencegah keletihan yang berlebihan.
-      Menjelaskan kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal :
à     Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi
à     Memperlambat proses involusi rahim dan memperbanyak perdarahan.
à     Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri.
·     Aktivitas
-      Menganjurkan ibu agar mobilisasi sesuai kemampuannya, tidak perlu tidur terlentang di tempat tidur.
-      Menganjurkan ibu agar melaksanakan senam nifas secara teratur untuk mengembalikan otot perut dan panggul kembali normal.
-      Menganjurkan ibu untuk kembali ke kegiatan-kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan mulai dari yang paling ringan dulu.
                     -      Menganjurkan ibu untuk senam nifas, seperti :
à        Tidur terlentang, kedua tangan di atas perut, kedua lutut ditekuk, tarik nafas melalui hidung dengan mengembungkan perut, tiup nafas lewat mulut dengan mengempiskan perut ( 8x )
à        Posisi sama dengan di atas, kencangkan otot perut, tarik nafas lewat hidung dengan mengangkat dada bagian bawah, tahan beberapa saat kemudian hembuskan nafas lewat mulut dengan keadaan perut kencang ( 8x ).
à        Posisi duduk, kedua tungkai lurus dan terbuka, kedua lengan menyangga badan.
-   Gerakan pergelangan kaki ke depan dan   kebelakang (8x)
-    Memutar pergelangan kaki ke kanan 4x, kiri 4 x
                          -   Memutar pergelangan kaki ke arah dalam, putar kembali ke luar (8x).
                          -    Buka dan tutup jari-jari kaki (8x)
à          Untuk memperkuat otot-otot dasar panggul dengan latihan kegel (posisi tidur telentang dengan kedua lutut ditekuk). Kencangkan otot-otot vulva dan vagina sekencang-kencangnya secara bertahap. Tahan beberapa saat kemudian lepaskan (12x). Atau dengan posisi satu lutut ditekuk dan lutut lain lurus. Menekankan lutut yang lurus ke bed bersamaan dengan mengurutkan otot vulva dan vagina.
·     Hubungan seksual
       Menganjurkan ibu untuk mulai melakukan hubungan seksual setelah 40 hari atau 6 minggu setelah persalinan bila masa nifas telah selesai. Akan tetapi keputusan tergantung pada pasangan yang bersangkutan.
·     Keluarga Berencana
       Menganjurkan ibu untuk memilih alat kontrasepsi yang menurutnya cocok dan tidak mengganggu laktasi, yaitu :
1.    Metode sederhana : pantang berkala
2.    Metode efektif
f.    Pil Progestin (mini pil)
       Keuntungan    : Tidak mempengaruhi ASI, tidak mengganggu hubungan seksual, kesuburan cepat kembali, dapat dihentikan setiap saat.
       Kerugian         : Gangguan pada haid (spotting, amenorhea), peningkatan/penurunan BB, timbul jerawat dan bulu/rambut di daerah muka.
       Kontraindikasi :    Hamil / diduga hamil, perdarahan pervaginam tanpa sebab yang jelas dan sering lupa minum pil.
f     Implan
       Keuntungan    : Tidak mengganggu ASI, tidak memerlukan pemeriksaan dalam, tidak mengganggu senggama, daya tahan tinggi, dapat digunakan ± 3 tahun.
       Kerugian         : Perdarahan bercak, hipermenorrhea, serta amenorrhea.
       Kontraindikasi: Hamil di duga hamil, kanker payudara, mioma uteri, gangguan toleransi glukosa, perdarahan pervaginam tanpa sebab yang jelas.
f     AKDR dengan progestin
       Keuntungan    : Proteksi selama 1 tahun, tidak berpengaruh pada ASI, kesuburan segera kembali sesudah AKDR diangkat, mengurangi nyeri haid dan darah haid, tidak mengganggu senggama.
       Kerugian         : Diperlukan pemeriksaan dalam dan penyaringan infeksi genetalia sebelum pemasangan AKDR, KET relatif tinggi, mahal, resiko terjadi penyakit radang panggul.
                               Kontraindikasi:     Menderita vaginitis, salfingitis, endometritis, riwayat KET, kanker payudara.
f     Suntikan Progestin
       Keuntungan    : Pencegahan kehamilan jangka panjang (DMPA 3 bulan, Depo Noristerat 2 bulan), tidak berpengaruh terhadap ASI, dapat digunakan perempuan lebih dari 35 tahun sampai pre menopause, membantu mencegah kanker rahim dan KET.
       Kerugian         : Siklus haid memanjang/memendek, perdarahan banyak/sedikit, perdarahan bercak, tidak haid sama sekali, kekeringan pada vagina, menurunkan libido dan timbul jerawat.
       Kontraindikasi: Kanker payudara, DM, perdarahan pervaginam tanpa sebab yang jelas, hamil/diduga hamil.
3.    Metode mantap
f     Tubektomi
       Keuntungan    : Tidak ada efek samping jangka panjang, tidak mengganggu senggama, tidak mengganggu produksi ASi, mengurangi resiko kanker payudara, menggunakan teknik pembedahan sederhana.
       Kerugian         : Permanen, rekanalisasi tidak menjamin pulihnya kesuburan, tidak melindungi terhadap PMS, resiko KET
       Kontraindikasi: Infeksi panggul akut, anemia, trombosis vena dalam, perdarahan pervaginam tanpa sebab yang jelas, kanker ginekologik.
f     Vasektomi
       Keuntungan    : Tidak mengganggu produksi ASI, tidak mengganggu produksi hormon pria.
       Keuntungan    : Tidak melindungi terhadap PMS
       Kontraindikasi: PMS, anemia berat, verikokel besar, parut skrotum
Setelah diberi penjelasan, ibu masih ingin merundingkan rencana KB dengan suami
                          Mengajarkan pada ibu cara merawat payudara :
·     Menempelkan kapas yang telah diolesi minyak sayur/baby oil pada puting selama 10 menit kemudian membersihkan puting dengan kapas tersebut.
·     Kedua telapak tangan diolesi baby oil/minyak sayur. Melakukan pengurutan buah dada kanan dengan tangan kanan dan buah dada kiri sengan tangan kiri. Pengurutan dari tengah berputar ke samping kemudian ke bawah berulang (10-15 menit).
·     Pengurutan bagian samping dada ke puting (15-20x)
·     Pengetokan buku-buku jari dengan cepat dan teratur.
·     Selanjutnya penyiraman :
       -  Penyiraman payudara dengan air hangat ± 10x kemudian   dengan cepat diganti dengan air dingin ± 10x.
       -  Penyiraman terakhir dengan air hangat diteruskan dengan   mandi biasa.
      ·   Perawatan bayi dan imunisasi
       -    Kebersihan bayi, yaitu dengan memandikan bayi tiap pagi, dan sore, tetapi mandi sebelum tidur akan membantu relaksasi sehingga mempermudah tidur. Saat memandikan sambil dibersihkan dengan air hangat dan waslap pada bagian genetalia. Begitu juga setelah bayi BAB dan BAK kemudian mengganti popoknya.
       -    Perawatan tali pusat yaitu puntung tali pusat dibungkus dengan kasa kering tanpa alkohol dan ramuan-ramuan tradisional lainnya.
       -    Tanda-tanda bayi sakit
a   Tidak bisa menetek/menyusu
              b.  Tidak bisa minum/malas minum
                     c.   Selalu memuntahkan semuanya
                     d.   Kejang
                     e.   Tidak sadar
      -     Pemanfaatan posyandu untuk memantau kembang balita, diantaranya berupa :
§  Pengukuran BB, TB, LK
§  Pengobatan sederhana
§  Pemberian vitamin A
§  Imunisasi
            Imunisasi penting untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit, misalnya : Tuberculosis, campak, polio, dan sebagainya.
Jenis-jenis imunisasi
1)         Hepatitis B          (mencegah penyakit hepatitis B)
2)         Polio                    (mencegah penyakit polio)
3)         Campak               (mencegah penyakit campak)
4)         BCG                    (mencegah tuberculosis)
5)         DPT                     (mencegah difteri, pertusis dan tetanus)
6)         MMR                   (mencegah gondongan dan campak)
7)         HIB                     (mencegah influenza tipe B)


Jadwal Imunisasi
No
Umur
Jenis Imunisasi
1.
0-7 hari
Hepatitis B1
2.
1
BCG
3.
2
Hepatitis B2, DPT 1, Polio 1
4.
3
Hepatitis B3, DPT 2, Polio 2
5.
4
DPT 3, Polio 3
6.
9
Campak, Polio 4

5.    Mengobservasi TTV meliputi tekanan darah, suhu, nadi dan pernapasan, laktasi, involusi uteri yang meliputi TFU dan kontraksi uterus , lochea (bau, warna, jumlah), dan luka jahitan perineum (adakah tanda-tanda infeksi).
6.    Menganjurkan ibu untuk minum obat sesuai anjuran bidan.
7.    Melakukan kunjungan ulang 3 hari lagi (13-06-2010)

b.   Tanggal/ jam    : 10-06-2010 pukul 13.50  WIB.
Diagnosa/ Masalah   :  Bendungan ASI.
Implementasi      :
1.      Menjelaskan pada ibu tentang pentingnya menyusui sehingga ibu termotivasi untuk menyusui bayinya secara teratur.
2.      Menjelaskan pada ibu bahwa bendungan ASI karena pengeluaran ASI tidak lancar disebabkan ibu takut meneteki karena putting susu lecet,sehingga,  payudara  terasa penuh, tegang dan nyeri.
3.      Menjelaskan pada ibu tentang cara mengatasinya
-          Susukan bayi tanpa jadwal, sesuai kebutuhan tiap 2 jam sekali
-          Keluarkan ASI dengan  tangan bila ASI melebihi kebutuhan bayi.
-          Untuk mengurangi sakit kompres dengan air hangat
-          Jangan memakai BH yang terlalu ketat
-          Lakukan pengurutan mulai dari puting kearah pangkal payudara
-          Kompres air hangat sebelum menyusui
-          Kompres air dingin setelah menyusui
-          Menghindarkan bahan seperti sabun,alcohol,krim dll,dalam pencucian putting susu.
-          Sehabis menyusui tidak perlu dibersihkan,cukup diangin-anginkan karena sisa ASI anti infeksi dan pelembut.
4.      Menjelaskan pada ibu tentang teknik menyusui yang benar.
-          Cuci tangan sebelum menyusui
-          Posisi ibu dan bayi nyaman selama menyusui
-          Peluk bayi dan letakkan kepala bayi pada sikut ibu keseluruahan tubuh bayi menghadap ke ibu, dagu bayi menyentuh payudara
-                 Sebagian besar areola masuk ke mulut bayi termasuk puting susu ibu
-          Pada waktu menyusui tekan bagian atas payudara dengan jari agar bayi dapat bernafas dengan bebas
-          Usahakan kaki ibu tidak menggantung
-          Susui bayi pada kedua payudara secara bergantian
-          Pandang mata bayi, gunakan kapas yang dicelup ke air hangat untuk membersihkan mulut bayi dan sendawakan bayi.
5.      Menganjurkan pada ibu untuk
-    Minum yang banyak (8-10 gelas/hari)
-    Istirahat yang cukup (6-8 jam / hari)
-    Banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kalori,protein,vitamin dan mineral (gizi seimbang )

c.   Tanggal/ jam    :           10-06-2010 pukul 13.55 WIB.
Diagnosa/ Masalah   :  Konstipasi
Implementasi :
1.      Memberikan penjelasan tentang eliminasi post partum yang normal.
2.      Menganjurkan pada ibu makan-makanan yang mengandung karbohidrat,protein dan tinggi serat serta buah-buahan untuk memperlancar proses BAB.
3.       Menganjurkan ibu untuk minum air ±8-10 gelas perhari dan air hangat,untuk mencegah terjadinya faeces keras.
4.      Menganjurkan ibu untuk mobilisasi umum
5.       Memberikan obat pencahar bila lebih dari 3 hari belum BAB (dulcolax 5mg 2 tablet sehari)
E.   EVALUASI
1.      Tanggal/ jam : 10-06-2010 pukul 17.00 WIB
Diagnosa Masalah : P10001, post partum hari ke 5, Laktasi normal, involusi normal, lochea normal, KU ibu dan bayi baik.
 S   :  -Ibu mengatakan sudah mengerti penjelasan yang diberikan mengenai:
·         Kebersihan diri terutama genitalia
·         Kebutuhan istirahat
·         Manfaat mobilisasi dini
·         Pentingnya pemberian ASI eksklusif
·         Perawatan payudara
·         Pentingnya menjaga ketenangan jiwa dan emosi
·         Informasi tentang KB dan waktu yang tepat bersengga
Dan ibu mengatakan akan melaksanakannya.
      -  Ibu mengatakan akan merundingkan metode KB apa yang akan dipakai dengan suaminya.
O   :  -        KU ibu baik
T  : 110/70
N  : 80 x/menit
Rr : 20 x/menit
S  : 36 °C
      -  KU bayi baik
PB : 51 cm
BB : 3800gram
Kesadaran : sadar/tenang, Warna kulit kemerahan,Gerak aktif, Menetek kuat, reflek menghisap dan menelan baik, Turgor baik, Tonus otot baik, Tali pusat bersih, tidak ada tanda tanda infeksi, BB lahir : 3900 gram, BB waktu pemeriksaan : 3800 gram
      -  Involusi baik
TFU pertengahan pusat dengan symphisis
Kontraksi uterus baik, teraba keras dan bundar
Lochea sanguinolenta (warna kuning kecoklatan, bau khas)
-    Kolostrum sudah keluar
-    Ibu dapat menjelaskan kembali penyuluhan/ anjuran yang diberikan
-    Ibu dapat melakukan perawatan payudara dengan baik
-    Ibu sudah melakukan mobilisasi
-    Ibu siap dikunjungi 3 hari lagi (13-06-2010)
A   :  P10001, post partum hari ke 5, Laktasi Normal, involusi Normal, lochea Normal, KU ibu dan bayi baik. Pengetahuan ibu tentang nifas bertambah
P :  Kaji Ulang pengetahuan ibu tentang nifas fisiologis/patologis, dan kebutuhan dasar pada ibu nifas.

2.      Masalah I                 Tanggal :10-06-2010, pukul17.00WIB
S :  -  Ibu mengatakan payudara sudah tidak terlalu tegang.
      -  Ibu mengatakan nyeri pada payudara sudah berkurang.
O   :  -        Pada perabaan payudara sudah tidak telalu tegang,putting susu sudah tidak tampak lecet.
      -  ASI keluar lancar, suhu tubuh :36 °C
A   :  Bendungan ASI berkurang, pengetahuan ibu tentang perawatan payudara bertambah
P :  -  Kaji Ulang pengetahuan ibu tentang perawatan payudara
      -  Anjurkan untuk melaksanakannya secara teratur

3.      Masalah II                Tanggal 10-06-2010 pukul17.00 WIB
S :  -  Ibu mengatakan sudah BAB tapi masih sedikit,1x pada sore hari dan tidak takut lagi.
O   :  -        Ibu tampak tenang,kelihatan lebih segar dan nyaman.
     
A   :  -Gangguan eliminasi (BAB) sudah bisa diatasi,ibu bisa BAB
P :  - Menganjurkan pada ibu untuk selalu melaksanakan anjuran dari petugas.
     -Makan-makanan yang mengandung karbohidrat,protein dan berserat tinggi serta buah-buahan.
     -Minum 8-10 gelas perhari dan air hangat.



                                                                                     Tanda Tangan


                                                                                 (NUR ISROFIYAH)




DAFTAR PUSTAKA



Hamilton, Persis Mary. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta :
  EGC

Ibrahim, CS. 1993. Perawatan Kebidanan Jilid 3. Jakarta : Pusdiknakes.

Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
   Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Fisiologi-Patologi. Jakarta : EGC.

Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
  Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sastrawinata, Sulaiman. 1983. Obstetri Fisiologi. Bandung : UNPAD.

Wiknjosastro, Hanifa Sarwono Prawirohardjo... 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta :
   Yayasan Bina Pustaka

2004. Workshop Senam Hamil dan Senam Nifas. Madiun : RSUP Dr. Soedono


mas soni

mas1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan
meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara
telah mengalami perubahan. Udara yang dulunya segar, kini kering dan kotor.
Pada sore hari dari ketinggian tampak kota besar seperti Jakarta memperlihatkan
warna yang kumuh, cakrawala yang diliputi asap dan debu. Hal ini bila tidak
segera ditanggulangi, perubahan tersebut dapat membahayakan kesehatan
manusia, kehidupan hewan serta tumbuhan.
Sebagai Ibukota negara, Jakarta menempati kota dengan tingkat kepadatan
penduduk yang cukup tinggi. Tingkat kepadatan yang cukup tinggi tersebut
tentunya memberikan permasalahan pencemaran udara. Sebagaimana diketahui
penggunaan mesin idustri, kendaraan bermotor, asap pembakaran merupakan
sumber utama pencemaran udara di kota Jakarta. Tingginya pencemaran udara
seperti dikemukakan oleh Paul Butar Butar bahwa “ 60 persen pencemaran udara
di Jakarta disebabkan oleh karena benda yang bergerak atau transportasi umum,
terutama karena mereka memakai bahan bakar solar ”, dan Paul juga menyatakan
bahwa, 94 persen penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta
disebabkan oleh pencemaran udara luar ruang. Seperti yang disebabkan oleh asap
dari angkutan umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar.
2
Sedangkan 30 persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam
ruang seperti adanya asap rokok di ruang yang menggunakan AC. (Senior
Program Officer Clean Air Project (Swisscontact)), saat pertemuan dengan komisi
D DPRD DKI di ruang rapat komisi D, Jakarta, senin (17/1/2005).
Diketahui pada bulan Desember 1952 dilaporkan bahwa 3500 orang tewas
di London akibat keracunan sulfurdioxide. Kejadian seperti itu, dimana
pencemaran udara yang begitu hebatnya telah menewaskan sejumlah penduduk
kota, memang merupakan peristiwa langka. Akan tetapi, tidak berarti bahwa
pencemaran udara bukan masalah umat manusia.
Pengaruh pencemaran udara terhadap kesehatan penduduk secara umum
dirasakan oleh hampir setiap penduduk kota-kota besar diseluruh dunia, walaupun
tidak dalam kadar seekstrim peristiwa London diatas. Masalahnya, di kota-kota
besar tersebut hampir selalu terdapat zat karbon monoksida (CO) sebagai akibat
dari banyaknya kendaraan bermotor, industri-industri, dan sebagainya yang
menggunakan bahan bakar minyak dan meninggalkan sisa pembakaran dalam
jumlah besar. Jumlah CO yang terlalu banyak itu terhisap oleh manusia melalui
pernapasannya sehingga akan menghambat fungsi jaringan-jaringan tubuh
manusia (termasuk otak dan jantung) untuk menyerap oksigen.
Sebagai akibat dari kekurangan oksigen tersebut dapat timbul gejala-gejala
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, personisme, epilepsy, pusingpusing,
jenuh, gangguan ingatan, kemunduran mental, psikosis, dan kemungkinan
3
juga kanker. (Garland & Pearce (1967), Rose & Rose (1971), Schulte (1963), dan
majalah Time 13 Juni 1977, dalam Bell et al, 1978:133)
Akan tetapi, yang sangat menyulitkan usaha untuk mengatasi atau
menghindari polusi udara adalah manusia selalu menggantungkan diri pada
inderanya, terutama indera penglihatan dan penciuman dalam menentukan ada
tidaknya pencemaran udara. Padahal banyak racun-racun dalam udara yang tidak
nampak dan tidak berbau, misalnya karbon monoksida (CO).
Salah satu bentuk pencemaran yang tertangkap oleh indera mata adalah
gejala Smog, gabungan antara smoke (asap) dan fog (kabut). Smog ini pernah
meliputi kota London pada tahun ’50-an karena banyaknya asap. Setelah London
berhasil dibebaskan dari Smog, kota-kota besar lainnya seperti Tokyo pun
mengalaminya. Gejalanya adalah jika itu dilihat dari jauh hanya akan terlihat
samar-samar karena tertutup oleh Smog tersebut. Akhir-akhir ini Jakarta pun
sudah mengalami gejala yang sama.1
Mengingat kondisi udara Jakarta sekarang ini yang semakin
mengkhawatirkan dengan tingginya tingkat pencemaran udara yang diantaranya
disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkutan umum yang menggunakan bahan
bakar solar, yang menurut penelitian para ahli disebutkan bahwa 94 persen
penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta disebabkan oleh
pencemaran udara luar ruang. Seperti yang disebabkan oleh asap dari angkutan
umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar. Sedangkan 30
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan, (Jakarta: Grasindo, 1995), hal 97
4
persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam ruang seperti
adanya asap rokok yang menyebabkan turunnya kualitas udara dan daya dukung
lingkungan. Dan dengan adanya zat, energi dan/atau komponen lain sebagai hasil
sampingan maupun limbah suatu kegiatan dapat menimbulkan turunnya
mutu/kualitas lingkungan hidup yang akhirnya dapat mengakibatkan pencemaran
udara. Maka upaya memelihara dan menjaga kualitas lingkungan sangat
diperlukan.2
Apabila kita melihat dari segi kesehatan, pencemaran udara yang
disebabkan oleh asap terutama asap rokok akan merugikan kesehatan baik bagi
perokok itu sendiri maupun orang lain disekitarnya yang tidak merokok (perokok
pasif). Disebutkan pula bahwa perokok mempunyai resiko 2-4 kali lipat untuk
terkena penyakit jantung koroner dan resiko lebih tinggi untuk kematian
mendadak. Dengan begitu perlu adanya perlindungan bagi perokok pasif
mengingat resiko terkena kanker bagi perokok pasif 30% (tiga puluh persen) lebih
besar dibandingkan dengan perokok itu sendiri. Perokok pasif juga dapat terkena
penyakit lainnya seperti penyakit jantung iskemik yang disebabkan oleh asap
rokok. 3
Dan mengingat pula bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang
bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat,
baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif, oleh sebab itu diperlukan
2 Tabloid Tempo, Selasa, 18 Januari 2005
3 Lihat Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan
5
perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan. Dan bahwasannya udara yang sehat dan bersih adalah hak
semua orang, maka diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat
untuk mencegah dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak
langsung terhadap kesehatan, guna terwujudnya derajat kesehatan masyarakat
yang optimal.4
Semangat yang terkandung di dalam Peraturan Gubernur No.75 Tahun
2005 tersebut memang tidak sepenuhnya dipahami oleh sebagian warga Jakarta.
Hal tersebut ditunjukkan masih banyaknya orang yang merokok ditempat-tempat
yang sudah ditentukan sebagai kawasan dilarang merokok dalam Peraturan
Gubernur, yaitu seperti ditempat umum, tempat proses belajar mengajar, di tempat
pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak,, ditempat-tempat ibadah, dan
didalam angkutan umum. Sebagaimana diketahui merokok adalah bentuk ekspresi
seseorang dalam mengekspresikan sesuatu, atau dengan kata lain merokok sudah
menjadi bagian gaya hidup bagi sebagian orang. Namum demikian aktifitas
merokok tersebut bukan saja berdampak buruk bagi perokok, melainkan juga
kepada orang yang berada di sekitar perokok (perokok pasif).
Berdasarkan hal tersebut pemerintah dearah DKI Jakarta bersama DPRD
DKI Jakarta berupaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat DKI Jakarta
dengan membuat Peraturan Daerah yang mengatur masalah tentang pengendalian
pencemaran udara yang tertuang dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 serta
4 Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
6
pelaksanaanya dalam Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok.
Menurut Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 yang dimaksud dengan
kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang
untuk merokok. Dan yang dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok adalah
tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan
kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Secara umum dalam Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang
kawasan dilarang merokok tersebut bertujuan:
a. Untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara
merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat
b. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal
c. Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih dari asap rokok
d. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula
e. Mewujudkan generasi muda yang sehat.
Adapun Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok tersebut berlaku efektif pada 1 Januari 2006 sampai pada saat
ini, telah 4 bulan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok tersebut diberlakukan. Namun demikian aparat penegak hukum
khususnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) masih saja menemukan
sebagian warga masyarakat yang merokok di kawasan yang telah dinyatakan
bebas dari asap rokok. Bahkan beberapa tersangka yang terjaring dalam operasi
7
penertiban menyangkal mereka telah melanggar Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang kawasan dilarang merokok, dengan alasan tidak ada
keterangan yang jelas terpampang di mall ketika tersangka sedang merokok
tersebut. Yaitu seperti tidak adanya tanda larangan merokok disembarang tempat
dan pemasangan tanda arah menuju ruangan khusus untuk merokok dan
pelarangan merokok diseluruh area gedung.
Beberapa uraian diatas menunjukan bahwa masyarakat DKI Jakarta masih
belum sepenuhnya mengetahui adanya larangan merokok dikawasan tertentu
khususnya di wilayah hukum DKI Jakarta. Sehingga penulis tertarik untuk
mengkaji dan mengkritisi tentang pasal-pasal kawasan dilarang merokok dalam
Peraturan Gubernur yang sekarang ini sedang dibahas oleh pemerintah lebih
lanjut dan penulis juga ingin membahasnya dalam Tugas Akhir dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS PELAKSANAAN PERATURAN
GUBERNUR NO. 75 TAHUN 2005 TENTANG KAWASAN DILARANG
MEROKOK (STUDI DI DKI JAKARTA) ”.
B. Permasalahan
Berdasarkan alasan tersebut diatas, yang menjadi permasalahan adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang
kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta?
2. Kendala apa yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
melaksanakan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005?
8
3. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan efektivitas
pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan yang hendak dicapai
adalah:
1. Untuk mengetahuai bagaimana pelaksanaan hukum Peraturan Gubernur No.
75 Tahun 20005 Tentang kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam melaksanakan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan pemerintah provinsi DKI
Jakarta dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No.
75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Bagi perkembangan keilmuan dengan adanya penulisan ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan pengetahuan
ilmu hukum.
2. Secara Praktis
a. Bagi Penulis
Bahwa penulisan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan meraih
gelar kesarjanaan (SI) Hukum di Fakultas Hukum Universitas
9
Muhammadiyah Malang. Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat
menambah wawasan, pengetahuan, dan pemahaman penulis terhadap
pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok.
b. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat khususnya perokok, diharapkan dengan penulisan
skripsi ini dapat memberi tambahan informasi bahwa pentingnya menciptakan
udara yang bersih dan sehat, yaitu dengan tidak merokok disembarang tempat
karena akan menyebabkan kerugian bagi orang yang ada di sekitarnya
(perokok pasif).
c. Bagi Aparat
Agar bisa dijadikan sebagai referensi dalam memutuskan kebijakankebijakan
dalam menangani masalah pelanggaran merokok di sembarang
tempat ini bagi aparat penegak hukum yang berada di wilayah lain, karena
kemungkinan besar di wilayah lain juga akan segera memberlakukan
peraturan yang serupa.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan adalah yuridis
sosiologis. Yang dimaksud dengan penelitian yuridis sosiologis adalah suatu
penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata yang terjadi dengan maksud
dan tujuan untuk menemukan (fact finding), kemudian dilanjutkan dengan
10
menemukan masalah (problem finding), kemudian menuju pada identifikasi
masalah (problem idenification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian
masalah (problem solution).
Dengan kata lain yuridis sosiologis berarti pendekatan yang dilakukan
untuk membahas suatu masalah dengan cara menggunakan data-data yang
diperoleh dari kenyataan yang terjadi, kemudian dianalisis dengan
menggunakan peraturan-peraturan serta teori-teori yang ada.
2. Lokasi Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di
wilayah hukum DKI Jakarta, alasan pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa pemberlakuan larangan merokok di tempat umum di
Indonesia baru ada di DKI Jakarta.
3. Jenis Data
Dalam penulisan skripsi ini diperlukan suatu metode penulisan, untuk
mengumpulkan data, menganalisa maupun menarik kesimpulan. Metode yang
digunakan bertujuan untuk memperoleh data yang obyektif. Sehingga hasil
pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan sebagai penulisan yang bersifat
ilmiah. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang akan diperoleh secara langsung dari
sumbernya mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan, yaitu
11
diperoleh melalui interview atau wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan maupun hasil pengkajian Undang-undang ataupun peraturan
yang terkait. Data sekunder yang dimaksud adalah berupa hasil analisis
terhadap literatur-literatur beserta dokumen-dokumen ataupun peraturanperaturan
yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga dapat
memperkaya wacana penulis dalam masalah ini. Yaitu:
1). Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan
2). Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara
3). Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang
Merokok
4). Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam
Ruangan (KUDR)
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini untuk memperoleh bahan dan data yang
diperlukan penulis mencari serta mengumpulkan bahan dan informasi yang
didapat dari internet, artikel, makalah, dan surat kabar. Selain itu penulis juga
mencari keterangan teori-teori serta pendapat para sarjana dengan cara:
a. Wawancara atau Interview
12
Merupakan proses Tanya jawab secara lisan, dimana dua orang atau
lebih berhadapan secar fisik yang sifatnya sepihak dan dilakukan secara
sistematis serta didasarkan pada tujuan penelitian (research). Adapun sifat
wawancara yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
wawancara dengan sistem bebas terpimpin (interview guide). Wawancara
bebas terpimpin yang dipakai disini hanya berupa catatan-catatan
mengenai pokok-pokok yang akan dipertanyakan sehingga masih
memungkinkan adanya variasi-variasi yang akan disesuaikan dengan
situasi ketika wawancara dilaksanakan. 5 Yaitu tanya jawab secara
langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam memberikan
keterangan yang diperlukan. Antara lain:
a. Jornale Siahaan, SH, M.Si. wakil kepala dinas Ketentraman dan
Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat provinsi DKI Jakarta dan
M.A. Farick, SH. M. kepala bagian Biro Hukum.
b. Responden seperti Fauzi, Hendra, Emy Prasetyo, Daliman, Aries,
Sihabudin, Habib, Syarief, Anwar, Fitri, Wawan, Kartika, Junaidi dan
Supardi.
b. Dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data yang berupa arsip-arsip atau data
dengan cara mencari dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang terkait
5 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) Hal.
71-73
13
dengan pasal-pasal larangan merokok dalam Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang kawasan dilarang merokok.
5. Analisa Data
Sebagai tahap akhir dari penulisan ini adalah menganalisa bahan dan
data. Analisa data adalah cara utama yang digunakan untuk menyusun dan
mengolah bahan yang diperoleh, sehingga bahan menghasilkan suatu
kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahan-bahan yang diperoleh
melalui cara-cara tersebut, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu dengan memaparkan segala data dan informasi yang
diperoleh penulis baik data primer maupun data sekunder yang kemudian
dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara sistematis.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tugas akhir ini terbagi menjadi 4 bab dan
masing-masing bab terdiri dari bagian sub bab. Adapun bab tersebut adalah
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sisitematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini yang akan di paparkan adalah tinjauan tentang Perundangundangan
yang mengatur tentang pencemaran udara karena asap rokok, tinjauan
terhadap Peraturan Gubernur No. 75 Tentang kawasan dilarang merokok, teori
14
efektivitas menurut para ahli, dan hierarki Perundang-undangan yaitu menurut
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, menurut Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000, dan menurut Undang-undang No.2 Tahun 2004.
BAB III : PEMBAHASAN
Pada bab ini akan di uraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan yaitu
pelaksanaaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok, diantaranya membahas tentang kesadaran masyarakat DKI Jakarta,
penegakan hukumnya, dan efektivitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok, membahas tentang kendalakendala
yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta
dalam meningkatkan efektifitas pelaksanan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 tentang kawasan dilarang merokok.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan yang telah
dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dan juga berisi saran-saran yang perlu
disampaikan sebagai usaha menjawab dan mencari solusi dari permasalahan yang
timbul.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Terhadap Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang
Pencemaran Udara Karena Asap Rokok
1. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal.
Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat
mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, oleh karena
dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain
Nikotin yang bersifat adiktif dan Tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat
mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung,
impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan
kehamilan.6
Dalam rangka peningkatan upaya penaggulangan bahaya akibat merokok
dan juga implementasi pelaksanaanya di lapangan lebih efektif, efisien, dan
6 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
16
terpadu diperlukan Peraturan Perundang-undangan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah tentang pengaman rokok bagi kesehatan, dengan tujuan:
a. Melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok;
b. Membudayakan hidup sehat;
c. Menekan perokok pemula;
d. Melindungi kesehatan perokok pasif.
Pengamanan rokok bagi kesehatan ini dibuat dengan pemberian informasi
tentang kandungan kadar nikotin dan tar yang ada pada setiap batang rokok,
pencantuman peringatan pada label, pengaturan produksi dan penjualan rokok
dan periklanan dan promosi rokok. Selain itu, perlu ditetapkan pula kawasan
tanpa rokok pada tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat
yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan
anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Namun dalam hal ini peran
masyarakat juga sangat diperlukan sehingga dapat tercipta kawasan tanpa rokok
di semua tempat/sarana.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok
bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan:
a. Kandungan kadar nikotin dan tar;
b. Persyaratan produksi dan penjualan rokok;
c. Persyaratan iklan dan promosi rokok;
d. Penetapan kawasan tanpa rokok.
17
Untuk kawasan tanpa rokok dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam
Pasal 22 yang berbunyi bahwa tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja,
dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena
kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan
tanpa rokok.
Dan dalam Pasal 24 dijelaskan bahwa dalam angkutan umum dapat
disediakan tempat khusus untuk merokok dengan ketentuan:
a. Lokasi tempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak bercampur
dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan umum yang sama;
b. Dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap udara
atau memiliki sistem sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perhubungan.
2. Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara
Bahwa pencemaran udara di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah
mencapai tingkat yang memprihatinkan sehingga menyebabkan turunnya
kualitas udara dan daya dukung lingkungan;
Pencemaran Udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia,
sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
18
Pencemaran udara di ruang tertutup adalah pencemaran udara yang terjadi
di dalam gedung dan transportasi umum akibat paparan sumber pencemar yang
memiliki dampak kesehatan kepada manusia.
Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur
lingkungan hidup lainnya.
Sasaran Pengendalian Pencemaran Udara adalah:
a. Terjaminnya keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan dan pelayanan
umum;
b. Terwujudnya sikap prilaku masyarakat yang peduli lingkungan sehingga
tercapai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, antara manusia dan
lingkungan hidup;
c. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
d. Terkendalinya sumber pencemar udara sehingga tercapai kualitas udara yang
memenuhi syarat kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya
Dalam Undang-undang ini kawasan dilarang merokok diatur dalam Pasal
13 yang berbunyi:
1). Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara
spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak,
tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang
merokok
19
2). Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja harus
menyediakan tempat khusus untuk merokok serta menyediakan alat
penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak
merokok.
3). Dalam angkutan umum dapat disediakan tempat khusus untuk merokok
dengan ketentuan:
a. Lokasi tempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak
bercampur dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan umum yang
sama;
b. Dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap
udara atau memiliki sistem sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
3. Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Definisi pencemaran udara menurut Soedomo Mustikahadi adalah sebagai
masuknya zat pencemar (bentuk gas-gas dan partikel kecil/aerosol) kedalam udara
baik secara alamiah maupun akibat dari kegiatan manusia.7
Definisi Pencemaran udara di ruang tertutup menurut Peraturan Gubernur
Propinsi DKI Jakarta Pasal 1 ayat 19 adalah pencemaran udara yang terjadi di
7 Soedomo Mustikahadi. Kumpulan Karya-Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara (Bandung:
ITB, 2001), hal. 3
20
dalam ruang dan/atau angkutan umum akibat paparan sumber pencemaran udara
yang memiliki dampak kesehatan kepada manusia.
Pencemaran udara mempunyai dampak yang sangat besar bagi
kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan yang hidup di bumi ini.
Terutama bagi manusia pencemaran udara berpengaruh terhadap kesehatan tubuh.
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pencemaran udara bergantung pada
macam, ukuran dan komposisi kimia dari pencemarnya.
Yang dimaksud dengan rokok dalam Peraturan Gubernur ini adalah hasil
olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan
dari tanaman atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana
tobacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung
nikotin, tar dan zat adiktif dengan atau tanpa bahan tambahan.
Dalam peraturan ini yang menjadi sasaran kawasan dilarang merokok
adalah:
1. Tempat umum
Yang dimaksud dengan tempat umum menurut Pergub No. 75 Tahun 2005
Pasal 1 ayat 25 adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta
atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk
tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung
perkantoran umum, tempat pelayanan umum antara lain terminal termasuk
terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba ada,
hotel, restoran, dan sejenisnya.
21
2. Tempat kerja
Dalam Pasal 1 ayat 26 yang dimaksud dengan tempat kerja adalah ruang
tertutup yang bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau tempat
yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya
termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar,
dan sejenisnya.
3. Tempat proses belajar-mengajar
Yang dimaksud dengan tempat proses belajar mengajar dalam Pasal 1 ayat
30 adalah tempat proses belajar mengajar atau pendidikan dan pelatihan
termasuk perpustakaan, ruang praktik atau laboratorium, museum, dan
sejenisnya
4. Tempat pelayanan kesehatan
Dalam Pasal 1 ayat 31 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat
pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, seperti rumah
sakit, puskesmas, praktik dokter, praktik bidan, toko obat atau apotek,
pedagang farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, dan tempat
kesehatan lainnya, antara lain puat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin,
Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA)
5. Arena kegiatan anak-anak
Dalam Pasal 1 ayat 29 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan arena
kegiatan anak adalah tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan
22
anak-anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak,
arena bermain anak-anak, atau sejenisnya.
6. Tempat ibadah
Dalam Pasal 1 ayat 28 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat
ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti
masjid termasuk mushola, gereja termasuk lapel, pura, wihara, dan kelenteng.
7. Angkutan umum
Dalam Pasal 1 ayat 27 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan angkutan
umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan
darat, air, dan udara termasuk di dalamnya taksi, bus umum, busway,
mikrolet, angkutan kota, kopaja, kancil, dan sejenisnya.
Adapun tujuan dari adanya penetapan kawasan dilarang merokok adalah:
a. Menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara merubah
perilaku masyarakat untuk hidup sehat;
b. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal;
c. Mewujudakan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok;
d. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula;
e. Mewujudkan generasi muda yang sehat.
Selain itu agar Peraturan Gubernur ini dapat berjalan efektif maka
pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat dapat menyediakan tempat khusus
untuk merokok sebagai kawasan merokok. Dalam Pasal 18 tempat khusus atau
kawasan merokok harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
23
a. Tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan
dilarang merokok;
b. Dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara;
c. Dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok.
d. Dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi kesehatan.
Penandaan atau petunjuk pada setiap kawasan dilarang merokok tersebut
dibuat sebagai berikut:
a. Karakteristik dan latar belakang penandaan atau petunjuk terbuat dari bahan
yang tidak silau serta karakteristik dari symbol harus kontras dengan latar
belakangnya, dengan karakter terang, di atas gelap atau sebaliknya.
b. Tinggi atau besar karakter huruf sesuai dengan jarak pandang dari tempat
penandaan atau petunjuk agar mudah terlihat dan terbaca.
Selain itu, penempatan penandaan atau petunjuk harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Penempatan yang sesuai dan tepat serta bebas pandangan tanpa penghalang;
b. Satu kesatuan sistem dengan lingkungan kawasan yang ditetapkan sebagai
kawasan dilarang merokok;
c. Mendapat pencahayaan yang cukup termasuk penambahan lampu pada
kondisi gelap atau pada malam hari;
d. Tidak menggganggu aktivitas lain atau mobilitas orang.
Dalam hal ini peran serta masyarakat sangat diperlukan agar tujuan
Peraturan Gubernur ini dapat tercapai. Dalam Pasal 19 dan Pasal 20 mewajibkan
24
warga masyarakat untuk berperan serta. Peran serta masyarakat dapat dilakukan
oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau badan usaha, dan lembaga
organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat. Peran serta masyarakat dapat
dilakukan dengan:
a. Melakukan pengawasan pelaksanaan Peraturan Gubernur ini.
b. Memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan data dan/atau
informasi dampak rokok bagi kesehatan.
Adapun pembinaan dan pengawasan ini dilakukan oleh Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLDH), Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan
Dasar, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, Dinas Bina Mental Spiritual
dan Kesejahteraan Sosial, Walikotamadya/Bupati.
Untuk sanksi yang dikenakan bagi pimpinan dan/atau penanggung jawab
tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, maka akan dikenai sanksi administrasi berupa
peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan atau usaha, dan pencabutan
izin. Sedangkan bagi yang terbukti telah merokok di kawasan dilarang merokok
akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
4. Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 Tentang Kualitas Udara Dalam
Ruangan
Kawasan merokok atau tempat khusus untuk merokok berdasarkan
25
Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan
(KUDR) adalah sebagai berikut:
a. Tempat khusus merokok dibuat terpisah dengan ruangan lainnya secara struktur
tertutup dengan dinding, atas dan lantai. Pintu tertutup rapat dengan
mempergunakan weather stripping dan dapat tertutup secara otomatis.
b. Dilengkapi dengan tempat duduk, pembuangan abu rokok (asbak) dan sampah
yang memadai dengan kapasitas orang yang merokok dan terbuat dari bahan
yang tidak mudah terbakan.
c. Tempat khusus merokok dibuat bertekanan udara lebih rendah dari ruangan
sekitarnya untuk memastikan udara tersebut tidak keluar mencemari udara
ruangan lainnya.
d. Posisi masuknya udara segar (supplay) dan udara pembuangan (return) berada
pada jarak yang cukup dan tidak mengakibatkan efek short cycling yang
menghambat pergerakan asap dan memenuhi ruangan tersebut.
e. Mempergunakan unit pengendali udara (Air Handling Unit/Cooling Coil Unit)
yang terpisah dengan ruangan lainnya untuk mencegah kontaminasi silang
(cross contamination).
f. Unit pengendali udara tersebut memenuhi kapasitas pertukaran udara (air
change) yang sesuai dengan besarnya tempat khusus merokok.
g. Unit pengendali udara tersebut mempergunakan sistem filter berefisiensi tinggi
non-ionizing yang dapat menyaring hingga 99 % semua partikel di bawah 1
26
mikron dan tidak menimbulkan ozon atau gas berbahaya lainnya dalam
kondisi berjalan normal.
h. Filter yang dipergunakan tidak menghasilkan radiasi elektromagnetik yang
dapat menggangu kinerja alat eletronik lainnya dan beroperasi dengan
konsumsi daya listrik yang rendah/hemat energi dalam kondisi berjalan
normal.
i. Filter tersebut telah lulus ETS Chamber Test dan mendapatkan sertifikat
standarisasi ISO 14644-1 (Class 8).
j. Tempat khusus merokok secara berkala dipelihara dan diperiksa untuk menjaga
efektifitasnya.
k. Memasang tanda “TEMPAT KHUSUS MEROKOK” dan tanda peringatan
pemerintah mengenai bahaya merokok “MEROKOK DAPAT
MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG IMPOTENSI DAN
GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”.
l. Pengelola gedung yang telah menyediakan Tempat Khusus merokok harus
memastikan perokok tidak merokok di tempat dilarang merokok.
m. Di ruangan lainnya dipasang tanda “DILARANG MEROKOK”.
n. Mendapatkan rekomendasi secara tertulis dari Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta bahwa Tempat Khusus
merokok tersebut telah memenuhi standar yang berlaku.8
8 Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Kualitas Udara Dalam
Ruangan (KUDR)
27
Dari semua substansi Undang-undang yang telah disebutkan dan
dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa udara yang bersih dan
lingkungan yang sehat adalah hak semua masyarakat baik orang perorangan
dan/atau kelompok orang. Dimana untuk mendapatkan udara yang sehat dan
bersih, diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk dapat
mencegah semakin parahnya pencemaran udara itu sendiri guna terwujudnya
derajat kesehatan yang optimal, yaitu tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan
mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta
kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus selalu
diusahakan peningkatannya secara terus menerus.
B. Teori Efektivitas
Sebagai tindak lanjut dari upaya pengendalian pencemaran udara yang
disebabkan oleh asap rokok maka ditetapkanlah beberapa peraturan yang
mengatur tentang kawasan dilarang merokok. Sebagaimana diuraikan di atas
bahwa peraturan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk hukum dari
upaya meminimalisir pencemaran udara karena asap rokok. Namum demikian hal
terpenting dari peraturan perundang-undangan yang ditetapkan adalah
sejauhmana peraturan tersebut efektif berlaku dan berdampak positif terhadap
tercapainya tujuan meminimalisir pencemaran udara yang disebabkan oleh asap
rokok. Dengan demikian efektivitas produk hukum yang dibuat menjadi perhatian
28
utama bagi pemerintah dalam menekan pencemaran udara yang disebabkan oleh
asap rokok.
Menurut Soerjono Soekanto masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktorfaktor
tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.9
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
Adapun sebuah peraturan hukum agar efektif pelaksanaanya dimasyarakat
adalah harus memenuhi 3 hal yaitu:10
9 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta:Raja
Gravindo Persada), Hal.8-9
10 Rica Noviandari, Tinjauan Yuridis Sosiologis Legalisasi Peraturan Desa Tanpa Keberadaan Badan
Perwakilan Desa (Malang: 2001) Hal. 29-30
29
1. Substansi:
- Isinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang ada di atasnya
- Sebuah peraturan harus dibuat oleh lembaga yang berwenang
- Isi dari Undang-undang memenuhi kebutuhan yang ada di masyarakat
- Mengandung sanksi yang tegas
- Memiliki nilai-nilai keadilan bagi masyarakat
2. Struktur:
Adanya lembaga yang mengawasi dalam pelaksanaan sebuah peraturan
sehingga menjamin penegakan hukum
3. Kultur
Sebuah peraturan jangan sampai membrangus keaslian dari adat
masyarakat, sehingga peraturan dibuat harus melihat dulu bagaimana
budaya dari masyarakat setempat, karena masyarakat cenderung enggan
mematuhi peraturan yang dirasa benar-benar telah membrangus keaslian
adat istiadat masyarakat setempat.
Efektivitas tidaknya fungsi hukum dapat pula dilihat dari kualitas
kepatuhan masyarakat. Anderson menjelaskan sebab-sebab anggota masyarakat
mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakaan publik yaitu:11
1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badanbadan
pemerintah
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan
11 Ibid. Hal 30-31
30
3. Adanya keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah, konstitusional, dan
dubuat oleh pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan
4. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu
lebih sesuai (bermanfaat) dengan kepentingan pribadi
5. Adanya sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan apabila tidak
melaksanakan suatu kebijakan
6. Adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan yang kontroversial
yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam
mengimplementasikannya.
Ragaan Seidman menjelaskan 3 butir terpenting mengenai efektivitas
hukum yaitu:
1. Mekanisme bekerjanya hukum sejak dari proses legislasi sampai
terimplementasikan dalam praktis tidak mungkin dapat netral dari intervensi
faktor-faktor ekstra yuridis.
2. Hukum merupakan instrumen pengendali individu-individu (pemegang peran)
sehingga faktor pemegang kebijakan pengendalian merupakan faktor penting
yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
3. Melalui mekanisme feed back dalam interaksi antara birokrasi sebagai
pelaksanaan dengan pemegang peran akan dapat berfungsi sebagai pengontrol
keberhasilan pencapaian tujuan. Sebagai tindak lanjut, perlu dilakukan
reorientasi penegakan hukum, reaktualisasi untuk menyelaraskan antara
31
norma dan fakta dan kemudian menyelaraskan antara implementasi dan asas
hukum yang mendasari.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas artinya dapat
membawa hasil, barhasil guna.12
Telah diketahui pula dalam melihat sistem bekerjanya suatu hukum maka
faktor sosiologis merupakan salah satu aspek penentu, sehingga dalam
membedakan sistem hukum Lawrence M. Friedman membagi dalam 3
komponen13:
1. Komponen Struktur
Adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan
berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem
hukum. Dikatakan demikian karena bekerjanya hukum dalam masyarakat
tidak terlepas dari pengaruh dan peranan lembaga-lembaga atau instansiinstansi
yang terkait, dalam hal ini adalah aparat. Pengertian aparat yang
baik disini meliputi:
a. Mentalitasnya atau moralnya, baik dalam arti jujur, mempunyai rasa
tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaanya, dapat bersikap sebagai
abdi masyarakat/public servent.
12 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998) Hal. 250
13 Ika Diana Agustini, Efektivitas Perda No. 15 1990 Diperbaharui Dengan Perda No. 12 1998
Tentang Ijin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Menunjang Pendapatan Asli Daerah (Malang:
2000)
32
b. Memiliki kecakapan/kemampuan yang tinggi untuk melaksanakan tugastugasnya.
2. Komponen Substansi
Adalah komponen luar dari sistem hukum termasuk norma-norma itu
sendiri baik berupa peraturan, keputusan yang semuanya digunakan untuk
mengatur tingkah laku manusia. Atau peraturan-peraturan/keputusankeputusan
yang menjadi landasan di dalam pembuatan Peraturan
3. Komponen Kultur
Adalah nilai dan sikap yang merupakan pengikat sistem hukum serta
mengetahui sistem hukum itu ditengah-tengah budaya bangsa sebagai
keseluruhan. Atau disebut juga sebagai komponen yang dapat memberikan
jawaban atas efektif tidaknya suatu peraturan hukum, dalam hal ini Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005, selain itu keberhasilan penyelangaraan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 juga tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif
anggota masyarakat. Masyarakat baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai
individu merupakan bagian integral yang sangat penting, karena setiap prinsip
penyelenggaraan peraturan ini ditujukan guna mewujudkan masyarakat yang
sehat. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat adalah sikap
mendukung terhadap penyelenggaraan peraturan ini yang antara lain
ditunjukkan melalui partisipasi masyarakat.
Dari pendapat Lawrence M. Friedman di atas maka dapat disimpulkan
bahwa berfungsinya hukum/peraturan sangatlah tergantung pada hubungan yang
33
serasi antara hukum itu sendiri, penegakan hukum, fasilitasnya dan masyarakat
yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur mungkin akan mengakibatkan
seluruh sistem akan terkena pengaruh negatif. Salah satu efek negatifnya bahwa
hukum tersebut tidak akan dipatuhi apabila tidak ada yang mengawasi
pelaksanaanya secara ketat, maka disitulah peluang untuk menerobosnya.
Akhirnya mengakibatkan hukum itu sendiri tidak efektif. Untuk itu dibutuhkan
sanksi yang tegas pada pelanggarnya.
Efektivitas sebuah peraturan berkaitan erat dengan keefektifan
pelaksanaan peraturan-peraturan lain yang telah ditetapkan. Keefektifan ini dapat
diukur dengan membandingkan jumlah yang ditetapkan dengan jumlah yang
dapat dipungut. Untuk itu diperlukan suatu kaidah/peraturan yang benar-benar
efektif, dimana dalam peraturan tersebut dibutuhkan 4 faktor pendukung:
1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri
Apakah peraturan tersebut sudah beres/belum.
2. Petugas hukum yang menegakkan atau yang menerapkannya
Apakah petugas hukum melaksanakan fungsinya sebagaimana ditentukan
dan diharapkan.
3. Fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum
Apakah fasilitas fisik sudah cukup memadai atau belum sebagai unsur
pendukung berproses hukum.
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
34
Sampai seberapa jauh derajat kepatuhan atau ketaatan hukum dari warga
masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto14, efektivitas diartikan taraf sampai sejauh
mana suatu kelompok mencapai tujuan. Selanjutnya hukum dikatakan efektif
apabila terjadi dampak hukum positif. Dengan demikian hukum mencapai
sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga
menjadi perilaku hukum.
Efektivitas hukum menyoroti mengenai bagaimana suatu peraturan yang
dibentuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga untuk mengukur efektivitas
dari suatu peraturan dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian tujuan yang
diinginkan. Jika peraturan tersebut telah mencapai tujuannya maka peraturan
dikatakan efektif begitupun sebaliknya. Efektifitas hukum menurut Soerjono
Soekanto15 dilihat melalui 5 hal:
1. Peraturan
Suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat umum agar
tujuan pembentukannya dapat tercapai (efektif) maka peraturan tersebut
harus dilihat secara jelas dalam arti mudah dicerna atau dimengerti, tegas
dan tidak menimbulkan arti ganda dan ditafsirkan lain yang akhirnya bisa
membuat peluang terjadinya ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap
peraturan tersebut.
14 Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, (Alumni: Bandung, 1983) hal. 41
15 Ibid
35
2. Aparaturnya
Aparatur hukum dalam melaksanakan tugasnya harus tegas. Dilain
sisi, aparaturnya juga harus melakukan komunikasi dengan masyarakat
berupa perilaku atau sikap yang positif yang bertindak sebagai aparatur
3. Masyarakatnya
Penerapan suatu peraturan harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana peraturan tersebut diberlakukan, jika tidak maka
peraturan tersebut tidak efektif.
4. Fasilitas Penunjang
Adalah sarana dalam menetukan bagaimana produk hukum itu
berjalan dengan lancar.
5. Badan hukum
Adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat
bertindak sebagai subjek hukum.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas suatu
peraturan tidak bisa lepas dari pengaruh hubungan yang serasi antara kelima
unsur tersebut diatas.
C. Tinjauan Terhadap Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia
Negara Indonesia sebagai negara hukum yang segala peraturannya di atur
oleh hukum, dimana konstitusinya tertuang dalam bentuk Undang Undang Dasar
36
dan dilaksanakan dalam bentuk undang-undang hingga ke tata urutan perundangundangan
yang paling bawah.
Segala bentuk peraturan yang menjadi kebijakan pemerintah harus
berdasarkan atas hukum dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang ada di atasnya.
Adapun tata urutan perundang-undangan menurut ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 adalah:16
1. Undang-undang Dasar
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undangundang
Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang
pelaksanaanya dilakukan dengan ketetapan MPR, Undang-undang atau
Keputusan Presiden.
2. Ketetapan MPR
a. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
dilaksanakan dengan undang-undang.
b. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden
3. Undang-undang/Perpu
a. Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-undang Dasar atau
Ketetapan MPR
16 C.S.T. Kansil, Praktek Hukum Peraturan Perundangan di Indonesia (Jakarta:Erlangga,1983),
hal.14
37
b. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan-peraturan sebagai pengganti undang-undang.
- Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut
- Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus
dicabut.
4. Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk
melaksanakan Undang-undang
5. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus
(einmahlig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar
yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau
Peraturan Pemerintah pusat.
6. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya
Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti: peraturan menteri,
instruksi menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas bersumber dan
bersumber pada peraturan-perundangan yang lebih tinggi.
pDengan menimbang bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia
dan tata urutan Peraturan Perundangan republik indonesia berdasarkan Ketetapan
MPR No. XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian sehingga tidak
dapat dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan untuk saat
38
ini. Disamping pertimbangan di atas, pertimbangan lain adalah dalam rangka
memantapkan perwujudan otonomi daerah yang perlu menempatkan peraturan
daerah dalam tata urutan perundang-undangan saat ini, maka Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berdasarkan pada pasal 2 ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tata urutan
Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam aturan hukum sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah17
Pada Undang-undang No.10 tahun 2004 sendiri menegaskan dalam pasal
7 ayat 1 dan 2 yaitu jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah:18
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
17 Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hal.34
18 Undang-undang No. 10 Tahun 2004
39
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
40
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis Kota Jakarta
Kota Jakarta merupakan kota pelabuhan yang terletak di bagian Utara pulau
Jawa. Secara geografis, Jakarta terletak pada 50 19’ 12” – 60 23’ 54” LS dan
1060 22’ 42” – 1060 58’ 18” BT. Dengan luas wilayah sebesar 740,28 km2.
2. Batas Wilayah dan Pembagian Wilayah
Wilayah Provinsi DKI Jakarta terdiri atas wilayah darat dan wilayah
laut sejauh dua belas mil laut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Selanjutnya secara keseluruhan wilayah DKI Jakarta memiliki
batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Laut Jawa
b. Sebelah Selatan : Kota Depok
c. Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi
d. Sebelah Barat : Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang
Pembagian wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam Kotamadya
dan Kabupaten Administrasi. Lalu wilayah Kotamadya dan Kabupaten
Administrasi dibagi dalam kecamatan, sedangkan wilayah kecamatan dibagi
dalam kelurahan. DKI Jakarta yang luas ini terdiri dari lima Kotamadya dan
satu Kabupaten Administratif, yang berkedudukan sebagai daerah swatantra
41
tingkat dua, di bawah pengawasan kantor Gubernur. Kelima Kotamadya
tersebut adalah Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan,
Jakarta Pusat dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Tiap Kotamadya dikepalai
oleh seorang Walikota yang membantu mempersiapkan perencanaan
wilayahnya, sedangkan Kepulauan Seribu dikepalai oleh seorang Bupati
bertanggung jawab dalam bidang keuangan. Masing-masing wilayah kota
membawahi sejumlah kecamatan dan kelurahan. Di seluruh DKI Jakarta
terdapat 43 kecamatan dan 265 kelurahan. Selain itu terdapat juga organisasiorganisasi
kemasyarakatan yakni Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
yang berada di bawah yuridiksi kecamatan.
3. Kondisi Kependudukan
Kota Jakarta merupakan kota impian bagi para urban dari berbagai
daerah di Indonesia untuk mengadu nasib dan mencari keberuntungan di kota
ini. Fenomena ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat peran Jakarta
yang multidimensi sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, sosial budaya,
industri, ekonomi dan perdagangan. Oleh karena itu penduduk Jakarta
memang sangat beragam yang menggambarkan Indonesia itu sendiri yaitu
Bhineka Tunggal Ika.
Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Pemda DKI Jakarta
jumlah penduduk kota Jakarta bisa dikatakan sangat padat yaitu pada tahun
2004 saja tercatat jumlah penduduk Jakarta sebanyak 8.792.000 jiwa. Dengan
tingkat kepadatan penduduk sebesar 16.667/km2.
42
4. Gambaran Kawasan Dilarang Merokok
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang pengamanan rokok
bagi kesehatan Pasal 22 dan dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005
tentang pengendalian pencemaran udara Pasal 13 ayat (1) mengatur tentang
kawasan dilarang merokok. Namun dalam Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 tentang kawasan dilarang merokok lebih dipertegas lagi yaitu:
1. Tempat umum
Adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta atau
perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk
tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung
perkantoran umum, tempat pelayanan umum antara lain terminal termasuk
terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba
ada, hotel, restoran, dan sejenisnya.
2. Tempat kerja
Tempat kerja adalah ruang tertutup yang bergerak atau tetap dimana
tenaga kerja bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan
tempat sumber-sumber bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran,
ruang rapat, ruang sidang/seminar, dan sejenisnya.
3. Tempat proses belajar-mengajar
Adalah Tempat proses belajar-mengajar atau pendidikan dan pelatihan
termasuk perpustakaan, ruang praktik atau laboratorium, museum, dan
sejenisnya.
43
4. Tempat pelayanan kesehatan
Adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, seperti rumah sakit,
Puskesmas, praktik dokter, praktik bidan, toko obat atau apotek, pedagang
farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, dan tempat kesehatan
lainnya, antara lain pusat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin, Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).
5. Arena kegiatan anak-anak
Adalah tempat atau arena yang diperuntukan untuk kegiatan anakanak,
seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak,
arena bermain anak-anak, atau sejenisnya.
6. Tempat ibadah
Adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti
masjid termasuk mushola, gereja termasuk lapel, pura, wihara, dan
kelenteng.
7. Angkutan umum
Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat
berupa kendaraan darat, air, dan udara termasuk di dalamnya taksi, bus
umum, busway, mikrolet, angkutan kota, kopaja, kancil, dan sejenisnya.
44
B. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No.75 Tahun 2005 Tentang Kawasan
Dilarang Merokok
1. Kesadaran masyarakat DKI Jakarta dalam pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005
Kesadaran masyarakat DKI Jakarta dalam pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok masih
rendah. Peneliti dapat menyimpulkan demikian karena ternyata masih banyak
masyarakat yang masih merokok di sembarangan tempat walaupun
sebenarnya mereka mengetahui adanya Peraturan Gubernur No. 75 tahun
2005 tentang kawasan dilarang merokok dan sudah disediakan kawasan untuk
merokok. Seperti yang peneliti saksikan yang terjadi di Pusat Grosir Cililitan
terdapat 34 orang yang terjaring pada saat operasi yustisi yang dilakukan oleh
petugas Trantib. Mereka yang terjaring merupakan pengunjung Pusat Grosir
Cililitan (PGC) dan kebanyakan dari mereka mengetahui adanya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, tetapi
mereka tetap saja merokok di sembarangan tempat walaupun di semua lantai
gedung PGC dari Lower Ground lantai 1, 2, 3, telah di sediakan smoking
room yang letaknya sangat strategis. Seperti pengakuan Hendra (25) penjaga
counter handphone di PGC lantai 3 yang tertangkap basah saat sedang
merokok di PGC, dia mengaku bahwa dirinya biasa tiap hari merokok di
counter tempatnya bekerja dan selama ini tidak pernah di tangkap, dan dia
45
juga mengaku mengetahui adanya Peraturan Gubernur tersebut.19 Sama
seperti pengakuan Fauzi (19) pelajar kelas 3 SMK Tubun Bhayangkari yang
ikut tertangkap saat merokok di PGC, dia mengatakan bahwa “saya baru saja
pulang ujian lalu main kemari pas mau merokok di tangkap Trantib
sebenarnya saya tahu kalau ada Peraturan Gubernur larangan merokok di
televisi tapi saya tidak tahu kalau Peraturan tersebut sudah mulai
diberlakukan”.20
Tabel 1
Pengetahuan Responden Tentang Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
No Nama Responden
Pengetahuan
Tentang Pergub
No. 75 /2005
Pengetahuan Tentang
Kawasan Dilarang
Merokok
1 Fauzi Mengetahui Mengetahui
2 Hendra Mengetahui Mengetahui
3 Emy Prasetyo Mengetahui Mengetahui
4 Daliman Mengetahui Mengetahui
5 Aries S. Mengetahui Mengetahui
6 Sihabudin Mengetahui Mengetahui
7 Habib Mengetahui Mengetahui
8 Syarief Mengetahui Mengetahui
9 Anwar Mengetahui Mengetahui
10 Fitri Mengetahui Mengetahui
11 Wawan Mengetahui Mengetahui
12 Kartika Mengetahui Mengetahui
13 Junaidi Mengetahui Mengetahui
14 Supardi Mengetahui Mengetahui
Sumber data: data primer (wawancara dengan responden)
2 Wawancara dengan Fauzi (19) seorang penjaga counter HP di PGC pada tanggal 5 September
2006 pukul 11.30 WIB
20 Wawancara dengan Fauzi (19) seorang pelajar SMK Tabun Bhayangkari pada tanggal 5
September 2006 pukul 11.30 WIB
46
Dari data diatas dapat diketahui bahwa 100 % atau semua responden
yang peneliti wawancarai mengetahui atas diberlakukannya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
Menurut Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok Pasal 2 tujuan dari diberlakukannya Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005 yaitu untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat,
meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara
yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan
mencegah perokok pemula, dan mewujudkan generasi muda yang sehat.
Pemahaman masyarakat tentang tujuan dari diberlakukannya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok masih
kurang. Menurut wawancara yang peneliti lakukan dengan responden hal ini
dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah DKI
Jakarta yang tidak menyeluruh. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2
Pemahaman Responden Tentang Tujuan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
No Nama Responden
Pemahaman Responden Tentang Tujuan
Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005
1 Fauzi Tidak mengetahui
2 Hendra Tidak mengatahui
3 Emy Prasetyo Mengetahui
4 Daliman Tidak mengetahui
5 Aries S. Tidak mengetahui
6 Sihabudin Tidak mengetahui
7 Habib Mengetahui
8 Syarief Mengetahui
47
9 Anwar Tidak mengetahui
10 Fitri Mengetahui
11 Wawan Mengetahui
12 Kartika Mengetahui
13 Junaidi Tidak mengetahui
14 Supardi Tidak mengetahui
Sumber data: data primer (wawancara dengan responden)
Dari data diatas dapat diketahui bahwa masih banyak responden yang
tidak mengetahui tujuan dari Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok. Dari 14 responden yang peneliti wawancarai 8
responden atau 57 % responden tidak mengetahui tujuan dari diberlakukannya
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok
dan 6 responden atau 43 % mengetahui tujuan dari diberlakukannya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
Dalam pelaksanaanya setelah peneliti wawancara sebagian besar
responden pernah melakukan pelanggaran dengan merokok di kawasan
dilarang merokok. Namun ada sebagaian dari responden yang terkena sanksi
karena diketahui oleh petugas dan ada juga yang tidak terkena sanksi karena
tidak diketahui oleh petugas dan masing-masing responden dikenai sanksi
dengan jumlah yang berbeda.
2. Penegakan hukum Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok
yang mengakibatkan masih banyak dari responden yang peneliti wawancarai
48
melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Gubernur tersebut, hal ini
diakibatkan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI
Jakarta. Seperti yang diakui oleh salah seorang pengurus Masjid Nurul Falah,
Cawang, Jakarta Timur, Sihabudin. Pihaknya tidak pernah menerima
permintaan langsung dari aparat pemerintah setempat untuk menerapkan
larangan merokok di kawasan masjid. Ia berharap jika larangan itu ada,
pemerintah bisa menyediakan sarana sosialisasi baik stiker ataupun spanduk.
Karena menurutnya “memang jika sedang waktu sholat dengan sendirinya
tidak ada jamaah yang merokok karena itu dilarang oleh agama, namun saat
pertemuan-pertemuan warga atau pengajian masih banyak warga yang
merokok”.21
Sosialisasi juga tidak tampak di angkutan umum baik bis kota maupun
mikrolet. Banyak penumpang yang masih saja seenaknya menyemburkan asap
rokok di depan muka banyak orang yang duduk di depannya. Seperti nampak
pada angkutan kota (Angkot) KWK 19,04,06, 16, maupun bis jurusan
Kampung Rambutan-Kota.
Menurut Junaidi, seorang supir angkutan kota 19 jurusan Cililitan-
Kalimalang, ia mengaku tidak begitu mengetahui larangan merokok di
angkutan umum. Selain itu, Pemda tidak pernah menyebarkan stiker maupun
3 Wawancara dengan Sihabudin (40) seorang pengurus Masjid Nurul Falah, Cawang, jakarta Timur
pada tanggal 6 september 2006 pukul 15.40 WIB
49
poster yang berisi larangan merokok di angkutan umum22. Hal yang sama di
kemukakan oleh Supardi, seorang supir bis kota P11 jurusan Kampung
Rambutan-Kota. Menurutnya tidak pernah ada sosialisasi khusus baik dari
pemerintah maupun dari perusahaan tempatnya bekerja. Stiker larangan
merokok juga tidak pernah dibagikan kepadanya. Sehingga tidak bisa
melarang penumpang yang merokok saat menumpang bisnya.23
Seperti yang peneliti lihat sendiri bahwa larangan merokok tidak
terlihat jelas di terminal Kampung Melayu, stasiun Jatinegara, terminal
Cililitan, dan terminal Pulo Gadung. Peneliti melihat sejumlah orang masih
merokok di tempat-tempat tersebut dengan bebas. Padahal larangan merokok
juga diberlakukan di terminal, dan stasiun, karena merupakan bagian dari
tempat umum.
Hal yang sama juga terjadi di lingkungan Kantor Walikota Jakarta
Timur, larangan merokok seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok tidak di
sosialisasikan secara tegas dan jelas. Sejumlah pegawaipun tampak masih
merokok di tempat-tempat yang seharusnya bebas dari asap rokok. Kepatuhan
untuk tidak merokok di tempat yang dilarang agaknya hanya berlaku saat
inspeksi mendadak saja.
22 Wawancara dengan Junaidi (27) seorang supir angkutan kota, di terminal Pulo Gadung pada
tanggal 29 Agustus 2006 pukul 12.30 WIB
23 Wawancara dengan Supardi (34) seorang supir bis kota, di terminal Pulo Gadung pada tanggal 30
Agustus 2006 pada pukul 12.50 WIB
50
Tabel 3
Pernah/Tidaknya Responden Melanggar Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
No Nama Responden Merokok di Kawasan
Dilarang Merokok
Sanksi Yang
Diberikan
1 Fauzi Pusat Grosir Cililitan Rp.20.000
2 Hendra Pusat Grosir Cililitan Rp.20.000
3 Emy Prasetyo -- --
4 Daliman Mall Taman Anggrek Rp.50.000
5 Aries S. Mall Klapa Gading --
6 Sihabudin -- --
7 Habib Stasiun Gambir --
8 Syarief Plaza Senayan --
9 Anwar Hotel Horison Rp.50.000
10 Fitri -- --
11 Wawan -- --
12 Kartika -- --
13 Junaidi Terminal Rawamangun Rp.20.000
14 Supardi Terminal Pulogadung Rp.20.000
Sumber data: data primer (wawancara dengan responden)
Dari data diatas dapat diketahui bahwa dari 14 responden, 6 atau 36 %
responden tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok dan 9 atau 64 %
responden mengaku pernah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok. Namun
dalam pelaksanaannya ada sebagian dari responden yang pernah melakukan
pelanggaran tetapi tidak dikenai sanksi seperti Aries, Habib, dan Syarief,
karena pada saat itu tidak ada petugas yang sedang berpatroli dan ada juga
yang dikenai sanksi seperti Fauzi, Hendra, Daliman, Anwar, Junaidi, dan
Supardi, karena diketahui oleh petugas yang sedang berpatroli. Sanksi yang
diberikan kepada responden yang melakukan pelanggaranpun beragam. Fauzi,
Hendra, Junaidi, dan Supardi dikenai sanksi sebesar Rp. 20.000,- oleh petugas
51
sedangkan Daliman dan Anwar dikenai sanksi sebesar Rp. 50.000,- oleh
petugas.
Menurut Jornale Siahaan24, S.H. M.Si, Wakil Kepala Dinas
Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta
kesiapan penyediaan tempat khusus merokok di: Plaza Senayan, Kantor
Dephub RI, Kantor Menko Polkam, Telkom, Plaza EX, Gedung Surya,
Indosat, Sarinah, Wisma Antara, Bangkok Bank, Hotel Sari Pan Pacific, dan
Carrefur Ratu Plaza, Mall Kelapang Gading dan Mega Mall Pluit. Pusat
Grosir Cililitan dan Arion Plaza Pondok Indah Mall, Cilandak Town Square,
Wisma Indocement, dan Plaza Semanggi, Mall Citraland dan Mall Taman
Anggrek, masih belum memenuhi Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006
tentang KUDR antara lain ruangan khusus merokok tidak dilengkapi
penghisap asap, ruangan hanya terdapat lubang angin saja, masih minimnya
rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk larangan merokok.
Hal ini juga terjadi di gedung Pemda DKI Jakarta seperti wawancara
yang dilakukan dengan Daliman (30)25 seorang Satpam di gedung Pemda DKI
Jakarta mengatakan bahwa pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok di lingkungan Pemda DKI Jakarta
sudah berjalan, akan tetapi fasilitas atau kawasan merokok yang disediakan
24 Wawancara dengan Jornale Siahaan, SH M.Si, Wakil Kepala Dinas Ketentraman Ketertiban dan
Perlindungan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 4 September 2006 pada pukul 11.20
WIB
25 Wawancara dengan Daliman (30) seorang satpam Pemda DKI Jakarta pada tanggal 23 Agustus
2006 pukul 12.30 WIB
52
oleh Pemda DKI Jakarta masih kurang. Di gedung Pemda ini hanya
menyediakan satu buah tempat khusus untuk merokok yang berada di lantai 1,
padahal gedung Pemda DKI Jakarta tersebut ada 20 lantai, dan ruangan
khusus merokok itu hanya terdiri dari tempat duduk, asbak dan penghisap
angin saja, kondisi ini mengakibatkan banyak pegawai yang melanggar
Peraturan Gubernur tersebut dengan merokok di teras-teras luar gedung
karena menurut mereka merokok di ruangan tersebut pengap dan membuat
baju kerja mereka menjadi bau rokok.
Menurut Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok Pasal 18 kawasan merokok harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Tempatnya harus terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan
kawasan dilarang merokok
b. Dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara
c. Dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok
d. Dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi
kesehatan.
Sedangkan menurut buku Penyuluhan Hukum Terpadu/Sosialisasi
Mengenai Kawasan Dilarang Merokok yang diatur dalam Peraturan Gubernur
53
Provinsi DKI Jakarta No. 52 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian
Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR)26, bahwa:
a. Tempat khusus merokok dibuat terpisah dengan ruangan lainnya secara
struktur tertutup dengan dinding, atas dan lantai. Pintu tertutup rapat
dengan mempergunakan weather stripping dan dapat tertutup secara
otomatis.
b. Dilengkapi dengan tempat duduk, pembuangan abu rokok (asbak) dan
sampah yang memadai dengan kapasitas orang yang merokok dan terbuat
dari bahan yang tidak mudah terbakan.
c. Tempat khusus merokok dibuat bertekanan udara lebih rendah dari
ruangan sekitarnya untuk memastikan udara tersebut tidak keluar
mencemari udara ruangan lainnya.
d. Posisi masuknya udara segar (supplay) dan udara pembuangan (return)
berada pada jarak yang cukup dan tidak mengakibatkan efek short cycling
yang menghambat pergerakan asap dan memenuhi ruangan tersebut.
e. Mempergunakan unit pengendali udara (Air Handling Unit/Cooling Coil
Unit) yang terpisah dengan ruangan lainnya untuk mencegah kontaminasi
silang (cross contamination).
f. Unit pengendali udara tersebut memenuhi kapasitas pertukaran udara (air
change) yang sesuai dengan besarnya tempat khusus merokok.
26 Biro Hukum Provinsi DKI Jakarta, Penyuluhan Hukum Terpadu/Sosialisasi Mengenai Kawasan
Dilarang Merokok, Jakarta 2006
54
g. Unit pengendali udara tersebut mempergunakan sistem filter berefisiensi
tinggi non-ionizing yang dapat menyaring hingga 99 % semua partikel di
bawah 1 mikron dan tidak menimbulkan ozon atau gas berbahaya lainnya
dalam kondisi berjalan normal.
h. Filter yang dipergunakan tidak menghasilkan radiasi elektromagnetik yang
dapat menggangu kinerja alat eletronik lainnya dan beroperasi dengan
konsumsi daya listrik yang rendah/hemat energi dalam kondisi berjalan
normal.
i. Filter tersebut telah lulus ETS Chamber Test dan mendapatkan sertifikat
standarisasi ISO 14644-1 (Class 8).
j. Tempat khusus merokok secara berkala dipelihara dan diperiksa untuk
menjaga efektifitasnya.
k. Memasang tanda “TEMPAT KHUSUS MEROKOK” dan tanda
peringatan pemerintah mengenai bahaya merokok “MEROKOK DAPAT
MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG IMPOTENSI
DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”.
l. Pengelola gedung yang telah menyediakan Tempat Khusus merokok harus
memastikan perokok tidak merokok di tempat dilarang merokok.
m. Di ruangan lainnya dipasang tanda “DILARANG MEROKOK”.
n. Mendapatkan rekomendasi secara tertulis dari Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta bahwa
Tempat Khusus merokok tersebut telah memenuhi standar yang berlaku.
55
Dari penelitian yang saya lakukan baik melalui wawancara dan
observasi maka tempat khusus merokok di semua gedung yang telah tersedia
belum memenuhi standart yang telah ditentukan dalam Peraturan Gubernur
No. 52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR), yaitu
tempat khusus merokok dibuat terpisah dengan ruangan lainnya secara
struktur tertutup dengan dinding, atas dan lantai. Pintu tertutup rapat dengan
mempergunakan weather stripping saja dan hanya dilengkapi tempat duduk,
pembuangan abu rokok ( asbak) dan sampah bagi para perokok.
Menurut wawancara yang peneliti lakukan dengan M.A. Farick, SH,
M.Si seorang kepala bagian biro hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
bagian Hukum, bahwa petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan Gubernur No.
75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan ketentuan sanksisanksi
yang dijatuhkan kepada para pelanggarnya adalah sebagai berikut:27
a. Petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005
a) Menunjuk Kepala Trantib sebagai ketua pelaksananya, Kepala
BPLHD sebagai ketua I dan Kepala Biro Kesehatan Masyarakat
sebagai ketua II. Ketiganya akan bertugas untuk mengkoordinasikan
penempatan petugas di lapangan.
b) Pembentukan 27 unit Satuan Tugas (Satgas) untuk mengawasi
kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta, setiap unitnya
27 Wawancara dengan Bpk. M.A. Farick, SH, M.SI seorang pegawai Pemerintah Propinsi DKI
Jakarta bagian Hukum, pada tanggal 8 September 2006 pukul 12.30 WIB
56
beranggotakan maksimal sembilan orang dari unsur Pendidikan dasar,
Pendidikan Menengah, dan Tinggi, Kesehatan Masyarakat, Badan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Perhubungan, LSM dan Trantib.
c) Pengawasan di tujuh kawasan dilarang merokok dilakukan oleh
instansi terkait, sebagai berikut:
1) Tempat pelayanan kesehatan, pengawasan dilakukan oleh Dinas
Kesehatan DKI.
2) Angkutan umum, pengawasan dilakukan oleh petugas dinas
Perhubungan DKI.
3) Tempat proses belajar-mengajar, pengawasan dilakukan oleh
Dinas Pendidikan dasar dan Dinas Pendidikan Menengah dan
tinggi (Dikmenti) DKI.
4) Tempat ibadah, pengawasan dilakukan oleh Kanwil Agama
setempat.
5) Tempat umum, pengawasan dilakukan oleh Dinas Trantib
termasuk Dinas Pengawas bangunan.
6) Tempat kerja, pengawasan dilakukan oleh kepala unit kerja
masing-masing.
7) Arena kegiatan anak-anak, pengawasan dilakukan oleh Dinas Bina
Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial.
57
d) Setelah sosialisasi dilakukan penegakan isi Peraturan Gubernur ini
akan dilakukan oleh Satpol PP di kawasan-kawasan yang menjadi
target operasi, termasuk gedung perkantoran.
b. Ketentuan sanksi terhadap Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005
Untuk mengamankan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan
Gubernur No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah menyiagakan 4000 aparat Trantib
dan Linmas DKI serta Petugas Penyidik Pegawai Sipil (PPNS) dari
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta.
Apabila pelanggaran terhadap Peraturan Gubernur ini dilakukan
berkali-kali, maka warga yang melanggar akan dikenai sanksi berupa
kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal 50 juta. Karena ada
dua objek pengawasan, yakni pengelola gedung dan perokok, maka
proses pemberian sanksi atau bahkan denda dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Bila yang melanggar adalah pihak pengelola gedung
Maka BPLHD akan memberi sanksi administratif kepada pengelola
gedung yang tidak menyiapkan tempat khusus untuk merokok.
Sanksi administratif tersebut berupa surat peringatan tertulis yang
diterbitkan oleh Wali Kotamadya kepada pengelola gedung yang
melanggar ketentuan Peraturan Gubernur tersebut.
b. Bagi perokok
58
Bagi perokok yang tertangkap basah oleh aparat yang berwenang
sedang merokok di kawasan dilarang merokok, maka dilakukan
proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat Trantib dan Linmas,
PPNS, serta BPLHD.
- Bila proses penyidikan sudah selesai, maka akan dilakukan
pemberkasan kemudian dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
- Pihak penyidik akan mencatat nama, umur, dan alamat perokok yang
tertangkap dan menyita Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya.
- Berkas yang sudah selesai tadi diserahkan ke Koordinator Pengawas
(Korwas) Polda Metro Jaya yang selanjutnya dilimpahkan ke
kejaksaan.
3. Efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok
Untuk memberikan penilaian secara objektif, peneliti menggunakan
pendapat Soerjono Soekanto28 bahwa efektifitas pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan dapat diukur dengan melihat faktor-faktor pendukung
dari penegakan hukum itu sendiri apakah sudah terpenuhi atau belum. Faktorfaktor
penegakan hukum tersebut adalah faktor hukum itu sendiri, faktor
penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pengakan
28 Soekanto Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grafindo
Persada. 2005 Jakarta. Hal 8
59
hukum, faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan, dan faktor
budaya.
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri. Yaitu dalam pasal-pasal yang
termuat masih memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran terhadap
Peraturan Gubernur tersebut, yaitu pada Pasal 6 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 5
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 yang menyebutkan “Pimpinan
dan/atau penanggungjawab tempat umum dapat menyediakan tempat
khusus untuk merokok sebagai kawasan merokok”. Bila ditelaah lebih
jauh kata “dapat” seolah memberikan kesan bahwa pimpinan/penanggung
jawab tempat umum tidak harus menyediakan tempat khusus untuk
merokok. Atau dengan kata lain bila suatu tempat umum tidak ada tempat
khusus inipun juga tidak akan dikenai sanksi, padahal fasilitas ini
merupakan pendukung suksesnya pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 di lapangan.
2. Faktor aparat penegak hukum memegang peranan penting juga sebagai
tolak ukur bagi efektif tidaknya suatu hukum atau peraturan yang berlaku.
Seperti halnya dengan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, aparat
pemerintah daerah yang diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi
berjalannya Peraturan Gubernur ini masih terkesan setengah hati.
Misalnya saja pengawasan tidak dilakukan setiap hari dan dalam 24 jam
penuh. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan jumlah petugas di lapangan
60
dan keterbatasan jumlah anggaran biaya operasional sebagai pendukung
suksesnya pelaksanaan Peraturan Gubernur ini.
3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung yang memadai. Sarana atau fasilitas
merupakan alat untuk mencapai tujuan dari suatu kebijakan yang
digulirkan pada publik. Seperti halnya Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 yang melarang warga Jakarta merokok di tujuh kawasan dilarang
merokok. Tentu saja warga yang merokok akan dibatasi haknya untuk
merokok agar hak warga yang bukan perokok untuk menghirup udara
bersih tanpa asap rokok dapat terlindungi. Untuk menjamin hak kedua
belah pihak maka perokok akan disediakan tempat khusus untuk merokok.
Penyediaan sarana tersebut tentu saja juga memerlukan biaya, dimana
penanggung jawab dana tetap diserahkan kepada pengelola gedung itu
sendiri. Bila kondisi ini tetap dipertahankan maka pihak pengelola gedung
bisa saja beralasan belum tersedianya dana untuk membangun sarana
khusus untuk merokok di gedung yang dikelolanya. Selain itu sarana
sebagai kawasan untuk merokok atau tempat khusus merokok tidak
memenuhi Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tantang Pedoman
Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR). Pengelola gedung
hanya menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan tempat duduk,
tempat pembuangan abu rokok dan sampah saja.
4. Faktor yang akan menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum atau
peraturan adalah faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan.
61
Kondisi riil masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya
adalah kesadaran hukum masyarakatnya masih sangat rendah. Mereka
hanya mematuhi peraturan apabila ada petugas/aparat yang sedang
bertugas. Sebagaimana pelaksanaan Peraturan Gubernur tentang Kawasan
Dilarang Merokok, kepedulian masyarakat masih kurang. Terbukti masih
banyak warga Jakarta yang merokok di kawasan yang telah ditetapkan
sebagai area bebas rokok, seperti terminal, di dalam angkutan umum yang
biasanya dilakukan oleh para supir angkutan umum, di tempat kerja dan
sebagainya. Bahkan ketika petugas sedang merazia di tempat-tempat
umum, masih ada warga yang tertangkap basah sedang merokok di
kawasan bebas rokok.
5. Faktor yang terakhir adalah faktor kebudayaan. Kebudayaan yang ada di
suatu masyarakat akan mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan
masyarakatnya. Kebudayaan yang negatif tentu saja akan membentuk
masyarakat bercitra buruk pula. Kebiasaan merokok di sembarang tempat
sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Tentu saja
kondisi ini sangat menyulitkan penerapan dan pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 di lapangan karena mengubah kebiasaan
yang sudah berakar memerlukan waktu yang cukup lama.
Dengan melihat faktor-faktor pendukung untuk tegaknya suatu hukum
atau peraturan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok dalam
62
kenyataannya masih belum efektif, sehingga diperlukan penataan kembali dari
semua unsur-unsur yang mendukung suksesnya pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
C. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Berdasarkan penjelasan pada sub-bab sebelumnya dapat diketahui faktorfaktor
yang menghambat efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok adalah faktor Peraturan Gubernur
itu sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat
dan faktor kebudayaan. Dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri. Yaitu dalam pasal-pasal yang termuat
masih memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran terhadap Peraturan
Gubernur tersebut, misalnya pada Pasal 6 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 5 Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 yang menyebutkan “Pimpinan dan/atau
penanggungjawab tempat umum dapat menyediakan tempat khusus untuk
merokok sebagai kawasan merokok”. Bila ditelaah lebih jauh kata “dapat”
seolah memberikan kesan bahwa pimpinan/penanggung jawab tempat umum
tidak harus menyediakan tempat khusus untuk merokok. Atau dengan kata
lain bila suatu tempat umum tidak ada tempat khusus inipun juga tidak akan
dikenai sanksi, padahal fasilitas ini merupakan pendukung suksesnya
pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 di lapangan.
63
2. Faktor aparat penegak hukum memegang peranan penting juga sebagai tolak
ukur bagi efektif tidaknya suatu hukum atau peraturan yang berlaku. Seperti
halnya dengan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, aparat pemerintah daerah
yang diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi berjalannya Peraturan
Gubernur ini masih terkesan setengah hati. Misalnya saja pengawasan tidak
dilakukan setiap hari dan dalam 24 jam penuh. Hal tersebut dikarenakan
keterbatasan jumlah petugas di lapangan dan keterbatasan jumlah anggaran
biaya operasional sebagai pendukung suksesnya pelaksanaan Peraturan
Gubernur ini.
3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung yang memadai. Dalam pelaksanaanya
tempat khusus untuk merokok tidak dibuat sesuai dengan Peraturan Gubernur
No. 52 tentang KUDR. Tempat khusus yang telah disediakan oleh pengelola
gedung hanya dibuat dengan alakadarnya, yaitu hanya menyediakan tempat
duduk dan tempat pembuangan abu rokok (asbak) dan sampah saja. Dengan
kata lain sarana dan prasarana yang disediakan oleh pihak pengelola gedung
tidak memenuhi standart yang telah ditentukan oleh pemerintah yang telah
ditetapkan melalui Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR).
4. Faktor yang akan menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum atau peraturan
adalah faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan. Kondisi riil
masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya adalah kesadaran
64
hukum masyarakatnya masih sangat rendah. Mereka hanya mematuhi
peraturan apabila ada petugas/aparat yang sedang bertugas. Selain itu
masyarakat juga masih banyak yang tidak mengetahui tujuan dari
diberlakukannya Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok dan masih ada masyarakat yang melanggar walaupun
mereka mengetahui adanya peraturan Gubernur ini.
5. Faktor yang terakhir adalah faktor kebudayaan. Kebudayaan yang ada di suatu
masyarakat akan mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan masyarakatnya.
Kebudayaan yang negatif tentu saja akan membentuk masyarakat bercitra
buruk pula. Kebiasaan merokok di sembarang tempat sepertinya sudah
menjadi budaya masyarakat Indonesia. Tentu saja kondisi ini sangat
menyulitkan penerapan dan pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 di lapangan karena mengubah kebiasaan yang sudah berakar
memerlukan waktu yang cukup lama.
D. Upaya-upaya Yang Dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Dalam
Meningkatkan Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Setelah beberapa bulan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 ini
diberlakukan efektif mulai 6 April 2006, banyak kalangan yang menilai
pelaksanaannya kurang efektif di lapangan. Setelah dilakukan evaluasi, maka
didapatkan beberapa kendala di lapangan. Adanya kendala bukan berarti
65
dihindari, tetapi harus dicari jalan keluarnya. Berikut ini adalah upaya-upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mensukseskan pelaksanaan
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok,
yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melakukan sosialisasi yang
terus-menerus sampai masyarakat benar-benar mengerti akan fungsi dan
tujuan diberlakukannya Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
Kawasan Dilarang Merokok.
2. Pemerintah terus melakukan sosialisasi di seluruh kawasan dilarang merokok
tidak hanya di kampus, di daerah industri, di perkantoran dan di jalan-jalan
protokol saja, melainkan juga di terminal-terminal, stasiun-stasiun di wilayah
DKI Jakarta melalui media massa, road show, famplet, poster, spanduk dan
stiker yang akan dibagikan kepada masyarakat DKI Jakarta.
3. Pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap substansi Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yaitu pada
pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5).
4. Meningkatkan pelayanan aparat pemerintah dalam melaksanakan pengawasan
yaitu dengan melakukan pengawasan setiap hari disetiap kawasan dilarang
merokok.
5. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi Peraturan Gubernur No. 52
Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR). Dalam hal ini
pemerintah DKI Jakarta harus memerintahkan kepada semua
66
pimpinan/penanggung jawab tempat atau kawasan agar secepatnya membuat
dan menyediakan kawasan merokok yang sesuai dengan panduan Kualitas
Udara Dalam Rungan (KUDR) demi tercapainya tujuan dari Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, serta
pemerintah jangan segan-segan lagi untuk memberikan sanksi administrasi
berupa penghentian sementara kegiatan usaha dan kalau perlu mencabut izin
perusahaan tersebut yang belum melanggar Peraturan Gubernur tersebut.
67
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan selama ini, dari permasalahan
yang penulis angkat, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan
Dilarang Merokok di DKI Jakarta ini belum efektif, hal tersebut dapat dilihat
dari beberapa faktor yaitu:
a. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri yaitu Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, yaitu mengenai
tanggung jawab pimpinan/pengelola gedung di dalam Pasal 6 ayat 5 dan
Pasal 7 ayat 5 tersebut menyebutkan bahwa pimpinan/pengelola gedung
dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok, yang bila ditelaah lebih
jauh kata “dapat” seolah memberikan kesan bahwa pimpinan/pengelola
gedung tidak harus menyediakan tempat khusus untuk merokok dan
apabila pengelola gedung tidak menyediakan tempat khusus untuk
merokok juga tidak melanggar hukum.
b. Faktor aparat penegak hukum, aparat tidak melakukan pengawasan setiap
hari dan dalam 24 jam dan kurangnya jumlah aparat yang melakukan
pengawasan sehingga masih banyak masyarakat yang melanggar
68
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok.
c. Faktor sarana dan prasaran atau fasilitas seperti kawasan merokok atau
tempat merokok masih kurang dan tidak memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang KUDR.
d. Faktor masyarakat DKI Jakarta yang masih memiliki tingkat kesadaran
hukum yang rendah.
e. Faktor kebudayaan, bahwa kebiasaan merokok disembarang tempat
sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat DKI Jakarta. Tentu saja
kondisi ini sangat menyulitkan penerapan dan pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok di
lapangan karena mengubah kebiasaan yang sudah berakar memerlukan
waktu yang cukup lama.
2. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan
Dilarang Merokok ini mengalami kendala-kendala yaitu:
a. Substansi dari Peraturan Gubernur itu sendiri yaitu pada Pasal 6 ayat 5 dan
pasal 7 ayat 5 yang tidak tegas.
b. Kurangnya pengawasan dari aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok yang dikarenakan keterbatasan jumlah petugas di lapangan dan
keterbatasan jumlah anggaran buaya operasional sebagai pendukung
suksesnya pelaksanaan Peraturan Gubernur ini.
69
c. Sarana dan prasarana yang tidak memadai, yaitu tempat khusus untuk
merokok yang tidak memenuhi Peraturan Gubernur No.52 Tahun 2006
tentang KUDR.
d. Kesadaran masyarakat yang rendah
e. Faktor kebudayaan. Kebiasaan merokok di sembarang tempat sudah
menjadi budaya masyarakat DKI Jakarta. Tentu saja kondisi ini sulit
diubah dan memerlukan waktu yang cukup lama agar Peraturan Gubernur
ini dapat berjalan efektif.
3. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta dalam meningkatkan
efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok yaitu dengan:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melakukan sosialisasi yang
terus-menerus dan menyeluruh sampai masyarakat benar-benar
mengetahui dan memahami akan fungsi dan tujuan diberlakukannya
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang
Merokok.
b. Pemerintah terus melakukan sosialisasi di seluruh kawasan dilarang
merokok tidak hanya di kampus, di daerah industri, di perkantoran dan di
jalan-jalan protokol saja, melainkan juga di terminal-terminal, stasiunstasiun
di wilayah DKI Jakarta melalui media massa, road show, famplet,
poster, spanduk dan stiker yang akan dibagikan kepada masyarakat DKI
Jakarta.
70
c. Pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap substansi Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yaitu
pada Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5).
d. Meningkatkan pelayanan aparat pemerintah dalam melaksanakan
pengawasan yaitu dengan melakukan pengawasan setiap hari disetiap
kawasan dilarang merokok.
e. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi Peraturan Gubernur No.
52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas penulis memberikan saran bahwa:
1. Perintah propinsi DKI Jakarta hendaknya melakukan peninjauan kembali
terhadap substansi dari Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Pasal 6 ayat
5 dan Pasal 7 ayat 5 sehingga tidak terjadi penyelewengan.
2. Pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara
menyeluruh, agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang betapa
pentingnya Penerapan peraturan Gubernur ini dalam kehidupan.
3. Meningkatkan pengawasan di setiap kawasan dilarang merokok dan tidak
hanya beberapa jam saja melainkan selama 24 jam.
4. Pemerintah harus memerint1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan
meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara
telah mengalami perubahan. Udara yang dulunya segar, kini kering dan kotor.
Pada sore hari dari ketinggian tampak kota besar seperti Jakarta memperlihatkan
warna yang kumuh, cakrawala yang diliputi asap dan debu. Hal ini bila tidak
segera ditanggulangi, perubahan tersebut dapat membahayakan kesehatan
manusia, kehidupan hewan serta tumbuhan.
Sebagai Ibukota negara, Jakarta menempati kota dengan tingkat kepadatan
penduduk yang cukup tinggi. Tingkat kepadatan yang cukup tinggi tersebut
tentunya memberikan permasalahan pencemaran udara. Sebagaimana diketahui
penggunaan mesin idustri, kendaraan bermotor, asap pembakaran merupakan
sumber utama pencemaran udara di kota Jakarta. Tingginya pencemaran udara
seperti dikemukakan oleh Paul Butar Butar bahwa “ 60 persen pencemaran udara
di Jakarta disebabkan oleh karena benda yang bergerak atau transportasi umum,
terutama karena mereka memakai bahan bakar solar ”, dan Paul juga menyatakan
bahwa, 94 persen penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta
disebabkan oleh pencemaran udara luar ruang. Seperti yang disebabkan oleh asap
dari angkutan umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar.
2
Sedangkan 30 persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam
ruang seperti adanya asap rokok di ruang yang menggunakan AC. (Senior
Program Officer Clean Air Project (Swisscontact)), saat pertemuan dengan komisi
D DPRD DKI di ruang rapat komisi D, Jakarta, senin (17/1/2005).
Diketahui pada bulan Desember 1952 dilaporkan bahwa 3500 orang tewas
di London akibat keracunan sulfurdioxide. Kejadian seperti itu, dimana
pencemaran udara yang begitu hebatnya telah menewaskan sejumlah penduduk
kota, memang merupakan peristiwa langka. Akan tetapi, tidak berarti bahwa
pencemaran udara bukan masalah umat manusia.
Pengaruh pencemaran udara terhadap kesehatan penduduk secara umum
dirasakan oleh hampir setiap penduduk kota-kota besar diseluruh dunia, walaupun
tidak dalam kadar seekstrim peristiwa London diatas. Masalahnya, di kota-kota
besar tersebut hampir selalu terdapat zat karbon monoksida (CO) sebagai akibat
dari banyaknya kendaraan bermotor, industri-industri, dan sebagainya yang
menggunakan bahan bakar minyak dan meninggalkan sisa pembakaran dalam
jumlah besar. Jumlah CO yang terlalu banyak itu terhisap oleh manusia melalui
pernapasannya sehingga akan menghambat fungsi jaringan-jaringan tubuh
manusia (termasuk otak dan jantung) untuk menyerap oksigen.
Sebagai akibat dari kekurangan oksigen tersebut dapat timbul gejala-gejala
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, personisme, epilepsy, pusingpusing,
jenuh, gangguan ingatan, kemunduran mental, psikosis, dan kemungkinan
3
juga kanker. (Garland & Pearce (1967), Rose & Rose (1971), Schulte (1963), dan
majalah Time 13 Juni 1977, dalam Bell et al, 1978:133)
Akan tetapi, yang sangat menyulitkan usaha untuk mengatasi atau
menghindari polusi udara adalah manusia selalu menggantungkan diri pada
inderanya, terutama indera penglihatan dan penciuman dalam menentukan ada
tidaknya pencemaran udara. Padahal banyak racun-racun dalam udara yang tidak
nampak dan tidak berbau, misalnya karbon monoksida (CO).
Salah satu bentuk pencemaran yang tertangkap oleh indera mata adalah
gejala Smog, gabungan antara smoke (asap) dan fog (kabut). Smog ini pernah
meliputi kota London pada tahun ’50-an karena banyaknya asap. Setelah London
berhasil dibebaskan dari Smog, kota-kota besar lainnya seperti Tokyo pun
mengalaminya. Gejalanya adalah jika itu dilihat dari jauh hanya akan terlihat
samar-samar karena tertutup oleh Smog tersebut. Akhir-akhir ini Jakarta pun
sudah mengalami gejala yang sama.1
Mengingat kondisi udara Jakarta sekarang ini yang semakin
mengkhawatirkan dengan tingginya tingkat pencemaran udara yang diantaranya
disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkutan umum yang menggunakan bahan
bakar solar, yang menurut penelitian para ahli disebutkan bahwa 94 persen
penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta disebabkan oleh
pencemaran udara luar ruang. Seperti yang disebabkan oleh asap dari angkutan
umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar. Sedangkan 30
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan, (Jakarta: Grasindo, 1995), hal 97
4
persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam ruang seperti
adanya asap rokok yang menyebabkan turunnya kualitas udara dan daya dukung
lingkungan. Dan dengan adanya zat, energi dan/atau komponen lain sebagai hasil
sampingan maupun limbah suatu kegiatan dapat menimbulkan turunnya
mutu/kualitas lingkungan hidup yang akhirnya dapat mengakibatkan pencemaran
udara. Maka upaya memelihara dan menjaga kualitas lingkungan sangat
diperlukan.2
Apabila kita melihat dari segi kesehatan, pencemaran udara yang
disebabkan oleh asap terutama asap rokok akan merugikan kesehatan baik bagi
perokok itu sendiri maupun orang lain disekitarnya yang tidak merokok (perokok
pasif). Disebutkan pula bahwa perokok mempunyai resiko 2-4 kali lipat untuk
terkena penyakit jantung koroner dan resiko lebih tinggi untuk kematian
mendadak. Dengan begitu perlu adanya perlindungan bagi perokok pasif
mengingat resiko terkena kanker bagi perokok pasif 30% (tiga puluh persen) lebih
besar dibandingkan dengan perokok itu sendiri. Perokok pasif juga dapat terkena
penyakit lainnya seperti penyakit jantung iskemik yang disebabkan oleh asap
rokok. 3
Dan mengingat pula bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang
bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat,
baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif, oleh sebab itu diperlukan
2 Tabloid Tempo, Selasa, 18 Januari 2005
3 Lihat Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan
5
perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan. Dan bahwasannya udara yang sehat dan bersih adalah hak
semua orang, maka diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat
untuk mencegah dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak
langsung terhadap kesehatan, guna terwujudnya derajat kesehatan masyarakat
yang optimal.4
Semangat yang terkandung di dalam Peraturan Gubernur No.75 Tahun
2005 tersebut memang tidak sepenuhnya dipahami oleh sebagian warga Jakarta.
Hal tersebut ditunjukkan masih banyaknya orang yang merokok ditempat-tempat
yang sudah ditentukan sebagai kawasan dilarang merokok dalam Peraturan
Gubernur, yaitu seperti ditempat umum, tempat proses belajar mengajar, di tempat
pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak,, ditempat-tempat ibadah, dan
didalam angkutan umum. Sebagaimana diketahui merokok adalah bentuk ekspresi
seseorang dalam mengekspresikan sesuatu, atau dengan kata lain merokok sudah
menjadi bagian gaya hidup bagi sebagian orang. Namum demikian aktifitas
merokok tersebut bukan saja berdampak buruk bagi perokok, melainkan juga
kepada orang yang berada di sekitar perokok (perokok pasif).
Berdasarkan hal tersebut pemerintah dearah DKI Jakarta bersama DPRD
DKI Jakarta berupaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat DKI Jakarta
dengan membuat Peraturan Daerah yang mengatur masalah tentang pengendalian
pencemaran udara yang tertuang dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 serta
4 Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
6
pelaksanaanya dalam Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok.
Menurut Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 yang dimaksud dengan
kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang
untuk merokok. Dan yang dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok adalah
tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan
kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Secara umum dalam Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang
kawasan dilarang merokok tersebut bertujuan:
a. Untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara
merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat
b. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal
c. Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih dari asap rokok
d. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula
e. Mewujudkan generasi muda yang sehat.
Adapun Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok tersebut berlaku efektif pada 1 Januari 2006 sampai pada saat
ini, telah 4 bulan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok tersebut diberlakukan. Namun demikian aparat penegak hukum
khususnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) masih saja menemukan
sebagian warga masyarakat yang merokok di kawasan yang telah dinyatakan
bebas dari asap rokok. Bahkan beberapa tersangka yang terjaring dalam operasi
7
penertiban menyangkal mereka telah melanggar Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang kawasan dilarang merokok, dengan alasan tidak ada
keterangan yang jelas terpampang di mall ketika tersangka sedang merokok
tersebut. Yaitu seperti tidak adanya tanda larangan merokok disembarang tempat
dan pemasangan tanda arah menuju ruangan khusus untuk merokok dan
pelarangan merokok diseluruh area gedung.
Beberapa uraian diatas menunjukan bahwa masyarakat DKI Jakarta masih
belum sepenuhnya mengetahui adanya larangan merokok dikawasan tertentu
khususnya di wilayah hukum DKI Jakarta. Sehingga penulis tertarik untuk
mengkaji dan mengkritisi tentang pasal-pasal kawasan dilarang merokok dalam
Peraturan Gubernur yang sekarang ini sedang dibahas oleh pemerintah lebih
lanjut dan penulis juga ingin membahasnya dalam Tugas Akhir dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS PELAKSANAAN PERATURAN
GUBERNUR NO. 75 TAHUN 2005 TENTANG KAWASAN DILARANG
MEROKOK (STUDI DI DKI JAKARTA) ”.
B. Permasalahan
Berdasarkan alasan tersebut diatas, yang menjadi permasalahan adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang
kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta?
2. Kendala apa yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
melaksanakan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005?
8
3. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan efektivitas
pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan yang hendak dicapai
adalah:
1. Untuk mengetahuai bagaimana pelaksanaan hukum Peraturan Gubernur No.
75 Tahun 20005 Tentang kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam melaksanakan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan pemerintah provinsi DKI
Jakarta dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No.
75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Bagi perkembangan keilmuan dengan adanya penulisan ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan pengetahuan
ilmu hukum.
2. Secara Praktis
a. Bagi Penulis
Bahwa penulisan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan meraih
gelar kesarjanaan (SI) Hukum di Fakultas Hukum Universitas
9
Muhammadiyah Malang. Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat
menambah wawasan, pengetahuan, dan pemahaman penulis terhadap
pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang kawasan
dilarang merokok.
b. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat khususnya perokok, diharapkan dengan penulisan
skripsi ini dapat memberi tambahan informasi bahwa pentingnya menciptakan
udara yang bersih dan sehat, yaitu dengan tidak merokok disembarang tempat
karena akan menyebabkan kerugian bagi orang yang ada di sekitarnya
(perokok pasif).
c. Bagi Aparat
Agar bisa dijadikan sebagai referensi dalam memutuskan kebijakankebijakan
dalam menangani masalah pelanggaran merokok di sembarang
tempat ini bagi aparat penegak hukum yang berada di wilayah lain, karena
kemungkinan besar di wilayah lain juga akan segera memberlakukan
peraturan yang serupa.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan adalah yuridis
sosiologis. Yang dimaksud dengan penelitian yuridis sosiologis adalah suatu
penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata yang terjadi dengan maksud
dan tujuan untuk menemukan (fact finding), kemudian dilanjutkan dengan
10
menemukan masalah (problem finding), kemudian menuju pada identifikasi
masalah (problem idenification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian
masalah (problem solution).
Dengan kata lain yuridis sosiologis berarti pendekatan yang dilakukan
untuk membahas suatu masalah dengan cara menggunakan data-data yang
diperoleh dari kenyataan yang terjadi, kemudian dianalisis dengan
menggunakan peraturan-peraturan serta teori-teori yang ada.
2. Lokasi Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di
wilayah hukum DKI Jakarta, alasan pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa pemberlakuan larangan merokok di tempat umum di
Indonesia baru ada di DKI Jakarta.
3. Jenis Data
Dalam penulisan skripsi ini diperlukan suatu metode penulisan, untuk
mengumpulkan data, menganalisa maupun menarik kesimpulan. Metode yang
digunakan bertujuan untuk memperoleh data yang obyektif. Sehingga hasil
pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan sebagai penulisan yang bersifat
ilmiah. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang akan diperoleh secara langsung dari
sumbernya mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan, yaitu
11
diperoleh melalui interview atau wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan maupun hasil pengkajian Undang-undang ataupun peraturan
yang terkait. Data sekunder yang dimaksud adalah berupa hasil analisis
terhadap literatur-literatur beserta dokumen-dokumen ataupun peraturanperaturan
yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga dapat
memperkaya wacana penulis dalam masalah ini. Yaitu:
1). Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan
2). Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara
3). Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang
Merokok
4). Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam
Ruangan (KUDR)
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini untuk memperoleh bahan dan data yang
diperlukan penulis mencari serta mengumpulkan bahan dan informasi yang
didapat dari internet, artikel, makalah, dan surat kabar. Selain itu penulis juga
mencari keterangan teori-teori serta pendapat para sarjana dengan cara:
a. Wawancara atau Interview
12
Merupakan proses Tanya jawab secara lisan, dimana dua orang atau
lebih berhadapan secar fisik yang sifatnya sepihak dan dilakukan secara
sistematis serta didasarkan pada tujuan penelitian (research). Adapun sifat
wawancara yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
wawancara dengan sistem bebas terpimpin (interview guide). Wawancara
bebas terpimpin yang dipakai disini hanya berupa catatan-catatan
mengenai pokok-pokok yang akan dipertanyakan sehingga masih
memungkinkan adanya variasi-variasi yang akan disesuaikan dengan
situasi ketika wawancara dilaksanakan. 5 Yaitu tanya jawab secara
langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam memberikan
keterangan yang diperlukan. Antara lain:
a. Jornale Siahaan, SH, M.Si. wakil kepala dinas Ketentraman dan
Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat provinsi DKI Jakarta dan
M.A. Farick, SH. M. kepala bagian Biro Hukum.
b. Responden seperti Fauzi, Hendra, Emy Prasetyo, Daliman, Aries,
Sihabudin, Habib, Syarief, Anwar, Fitri, Wawan, Kartika, Junaidi dan
Supardi.
b. Dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data yang berupa arsip-arsip atau data
dengan cara mencari dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang terkait
5 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) Hal.
71-73
13
dengan pasal-pasal larangan merokok dalam Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang kawasan dilarang merokok.
5. Analisa Data
Sebagai tahap akhir dari penulisan ini adalah menganalisa bahan dan
data. Analisa data adalah cara utama yang digunakan untuk menyusun dan
mengolah bahan yang diperoleh, sehingga bahan menghasilkan suatu
kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahan-bahan yang diperoleh
melalui cara-cara tersebut, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu dengan memaparkan segala data dan informasi yang
diperoleh penulis baik data primer maupun data sekunder yang kemudian
dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara sistematis.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tugas akhir ini terbagi menjadi 4 bab dan
masing-masing bab terdiri dari bagian sub bab. Adapun bab tersebut adalah
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sisitematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini yang akan di paparkan adalah tinjauan tentang Perundangundangan
yang mengatur tentang pencemaran udara karena asap rokok, tinjauan
terhadap Peraturan Gubernur No. 75 Tentang kawasan dilarang merokok, teori
14
efektivitas menurut para ahli, dan hierarki Perundang-undangan yaitu menurut
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, menurut Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000, dan menurut Undang-undang No.2 Tahun 2004.
BAB III : PEMBAHASAN
Pada bab ini akan di uraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan yaitu
pelaksanaaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok, diantaranya membahas tentang kesadaran masyarakat DKI Jakarta,
penegakan hukumnya, dan efektivitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok, membahas tentang kendalakendala
yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta
dalam meningkatkan efektifitas pelaksanan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 tentang kawasan dilarang merokok.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan yang telah
dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dan juga berisi saran-saran yang perlu
disampaikan sebagai usaha menjawab dan mencari solusi dari permasalahan yang
timbul.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Terhadap Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang
Pencemaran Udara Karena Asap Rokok
1. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal.
Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat
mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, oleh karena
dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain
Nikotin yang bersifat adiktif dan Tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat
mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung,
impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan
kehamilan.6
Dalam rangka peningkatan upaya penaggulangan bahaya akibat merokok
dan juga implementasi pelaksanaanya di lapangan lebih efektif, efisien, dan
6 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
16
terpadu diperlukan Peraturan Perundang-undangan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah tentang pengaman rokok bagi kesehatan, dengan tujuan:
a. Melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok;
b. Membudayakan hidup sehat;
c. Menekan perokok pemula;
d. Melindungi kesehatan perokok pasif.
Pengamanan rokok bagi kesehatan ini dibuat dengan pemberian informasi
tentang kandungan kadar nikotin dan tar yang ada pada setiap batang rokok,
pencantuman peringatan pada label, pengaturan produksi dan penjualan rokok
dan periklanan dan promosi rokok. Selain itu, perlu ditetapkan pula kawasan
tanpa rokok pada tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat
yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan
anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Namun dalam hal ini peran
masyarakat juga sangat diperlukan sehingga dapat tercipta kawasan tanpa rokok
di semua tempat/sarana.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok
bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan:
a. Kandungan kadar nikotin dan tar;
b. Persyaratan produksi dan penjualan rokok;
c. Persyaratan iklan dan promosi rokok;
d. Penetapan kawasan tanpa rokok.
17
Untuk kawasan tanpa rokok dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam
Pasal 22 yang berbunyi bahwa tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja,
dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena
kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan
tanpa rokok.
Dan dalam Pasal 24 dijelaskan bahwa dalam angkutan umum dapat
disediakan tempat khusus untuk merokok dengan ketentuan:
a. Lokasi tempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak bercampur
dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan umum yang sama;
b. Dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap udara
atau memiliki sistem sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perhubungan.
2. Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara
Bahwa pencemaran udara di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah
mencapai tingkat yang memprihatinkan sehingga menyebabkan turunnya
kualitas udara dan daya dukung lingkungan;
Pencemaran Udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia,
sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
18
Pencemaran udara di ruang tertutup adalah pencemaran udara yang terjadi
di dalam gedung dan transportasi umum akibat paparan sumber pencemar yang
memiliki dampak kesehatan kepada manusia.
Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur
lingkungan hidup lainnya.
Sasaran Pengendalian Pencemaran Udara adalah:
a. Terjaminnya keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan dan pelayanan
umum;
b. Terwujudnya sikap prilaku masyarakat yang peduli lingkungan sehingga
tercapai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, antara manusia dan
lingkungan hidup;
c. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
d. Terkendalinya sumber pencemar udara sehingga tercapai kualitas udara yang
memenuhi syarat kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya
Dalam Undang-undang ini kawasan dilarang merokok diatur dalam Pasal
13 yang berbunyi:
1). Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara
spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak,
tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang
merokok
19
2). Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja harus
menyediakan tempat khusus untuk merokok serta menyediakan alat
penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak
merokok.
3). Dalam angkutan umum dapat disediakan tempat khusus untuk merokok
dengan ketentuan:
a. Lokasi tempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak
bercampur dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan umum yang
sama;
b. Dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap
udara atau memiliki sistem sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
3. Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Definisi pencemaran udara menurut Soedomo Mustikahadi adalah sebagai
masuknya zat pencemar (bentuk gas-gas dan partikel kecil/aerosol) kedalam udara
baik secara alamiah maupun akibat dari kegiatan manusia.7
Definisi Pencemaran udara di ruang tertutup menurut Peraturan Gubernur
Propinsi DKI Jakarta Pasal 1 ayat 19 adalah pencemaran udara yang terjadi di
7 Soedomo Mustikahadi. Kumpulan Karya-Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara (Bandung:
ITB, 2001), hal. 3
20
dalam ruang dan/atau angkutan umum akibat paparan sumber pencemaran udara
yang memiliki dampak kesehatan kepada manusia.
Pencemaran udara mempunyai dampak yang sangat besar bagi
kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan yang hidup di bumi ini.
Terutama bagi manusia pencemaran udara berpengaruh terhadap kesehatan tubuh.
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pencemaran udara bergantung pada
macam, ukuran dan komposisi kimia dari pencemarnya.
Yang dimaksud dengan rokok dalam Peraturan Gubernur ini adalah hasil
olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan
dari tanaman atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana
tobacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung
nikotin, tar dan zat adiktif dengan atau tanpa bahan tambahan.
Dalam peraturan ini yang menjadi sasaran kawasan dilarang merokok
adalah:
1. Tempat umum
Yang dimaksud dengan tempat umum menurut Pergub No. 75 Tahun 2005
Pasal 1 ayat 25 adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta
atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk
tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung
perkantoran umum, tempat pelayanan umum antara lain terminal termasuk
terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba ada,
hotel, restoran, dan sejenisnya.
21
2. Tempat kerja
Dalam Pasal 1 ayat 26 yang dimaksud dengan tempat kerja adalah ruang
tertutup yang bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau tempat
yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya
termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar,
dan sejenisnya.
3. Tempat proses belajar-mengajar
Yang dimaksud dengan tempat proses belajar mengajar dalam Pasal 1 ayat
30 adalah tempat proses belajar mengajar atau pendidikan dan pelatihan
termasuk perpustakaan, ruang praktik atau laboratorium, museum, dan
sejenisnya
4. Tempat pelayanan kesehatan
Dalam Pasal 1 ayat 31 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat
pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, seperti rumah
sakit, puskesmas, praktik dokter, praktik bidan, toko obat atau apotek,
pedagang farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, dan tempat
kesehatan lainnya, antara lain puat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin,
Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA)
5. Arena kegiatan anak-anak
Dalam Pasal 1 ayat 29 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan arena
kegiatan anak adalah tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan
22
anak-anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak,
arena bermain anak-anak, atau sejenisnya.
6. Tempat ibadah
Dalam Pasal 1 ayat 28 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat
ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti
masjid termasuk mushola, gereja termasuk lapel, pura, wihara, dan kelenteng.
7. Angkutan umum
Dalam Pasal 1 ayat 27 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan angkutan
umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan
darat, air, dan udara termasuk di dalamnya taksi, bus umum, busway,
mikrolet, angkutan kota, kopaja, kancil, dan sejenisnya.
Adapun tujuan dari adanya penetapan kawasan dilarang merokok adalah:
a. Menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara merubah
perilaku masyarakat untuk hidup sehat;
b. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal;
c. Mewujudakan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok;
d. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula;
e. Mewujudkan generasi muda yang sehat.
Selain itu agar Peraturan Gubernur ini dapat berjalan efektif maka
pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat dapat menyediakan tempat khusus
untuk merokok sebagai kawasan merokok. Dalam Pasal 18 tempat khusus atau
kawasan merokok harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
23
a. Tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan
dilarang merokok;
b. Dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara;
c. Dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok.
d. Dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi kesehatan.
Penandaan atau petunjuk pada setiap kawasan dilarang merokok tersebut
dibuat sebagai berikut:
a. Karakteristik dan latar belakang penandaan atau petunjuk terbuat dari bahan
yang tidak silau serta karakteristik dari symbol harus kontras dengan latar
belakangnya, dengan karakter terang, di atas gelap atau sebaliknya.
b. Tinggi atau besar karakter huruf sesuai dengan jarak pandang dari tempat
penandaan atau petunjuk agar mudah terlihat dan terbaca.
Selain itu, penempatan penandaan atau petunjuk harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Penempatan yang sesuai dan tepat serta bebas pandangan tanpa penghalang;
b. Satu kesatuan sistem dengan lingkungan kawasan yang ditetapkan sebagai
kawasan dilarang merokok;
c. Mendapat pencahayaan yang cukup termasuk penambahan lampu pada
kondisi gelap atau pada malam hari;
d. Tidak menggganggu aktivitas lain atau mobilitas orang.
Dalam hal ini peran serta masyarakat sangat diperlukan agar tujuan
Peraturan Gubernur ini dapat tercapai. Dalam Pasal 19 dan Pasal 20 mewajibkan
24
warga masyarakat untuk berperan serta. Peran serta masyarakat dapat dilakukan
oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau badan usaha, dan lembaga
organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat. Peran serta masyarakat dapat
dilakukan dengan:
a. Melakukan pengawasan pelaksanaan Peraturan Gubernur ini.
b. Memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan data dan/atau
informasi dampak rokok bagi kesehatan.
Adapun pembinaan dan pengawasan ini dilakukan oleh Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLDH), Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan
Dasar, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, Dinas Bina Mental Spiritual
dan Kesejahteraan Sosial, Walikotamadya/Bupati.
Untuk sanksi yang dikenakan bagi pimpinan dan/atau penanggung jawab
tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, maka akan dikenai sanksi administrasi berupa
peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan atau usaha, dan pencabutan
izin. Sedangkan bagi yang terbukti telah merokok di kawasan dilarang merokok
akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
4. Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 Tentang Kualitas Udara Dalam
Ruangan
Kawasan merokok atau tempat khusus untuk merokok berdasarkan
25
Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan
(KUDR) adalah sebagai berikut:
a. Tempat khusus merokok dibuat terpisah dengan ruangan lainnya secara struktur
tertutup dengan dinding, atas dan lantai. Pintu tertutup rapat dengan
mempergunakan weather stripping dan dapat tertutup secara otomatis.
b. Dilengkapi dengan tempat duduk, pembuangan abu rokok (asbak) dan sampah
yang memadai dengan kapasitas orang yang merokok dan terbuat dari bahan
yang tidak mudah terbakan.
c. Tempat khusus merokok dibuat bertekanan udara lebih rendah dari ruangan
sekitarnya untuk memastikan udara tersebut tidak keluar mencemari udara
ruangan lainnya.
d. Posisi masuknya udara segar (supplay) dan udara pembuangan (return) berada
pada jarak yang cukup dan tidak mengakibatkan efek short cycling yang
menghambat pergerakan asap dan memenuhi ruangan tersebut.
e. Mempergunakan unit pengendali udara (Air Handling Unit/Cooling Coil Unit)
yang terpisah dengan ruangan lainnya untuk mencegah kontaminasi silang
(cross contamination).
f. Unit pengendali udara tersebut memenuhi kapasitas pertukaran udara (air
change) yang sesuai dengan besarnya tempat khusus merokok.
g. Unit pengendali udara tersebut mempergunakan sistem filter berefisiensi tinggi
non-ionizing yang dapat menyaring hingga 99 % semua partikel di bawah 1
26
mikron dan tidak menimbulkan ozon atau gas berbahaya lainnya dalam
kondisi berjalan normal.
h. Filter yang dipergunakan tidak menghasilkan radiasi elektromagnetik yang
dapat menggangu kinerja alat eletronik lainnya dan beroperasi dengan
konsumsi daya listrik yang rendah/hemat energi dalam kondisi berjalan
normal.
i. Filter tersebut telah lulus ETS Chamber Test dan mendapatkan sertifikat
standarisasi ISO 14644-1 (Class 8).
j. Tempat khusus merokok secara berkala dipelihara dan diperiksa untuk menjaga
efektifitasnya.
k. Memasang tanda “TEMPAT KHUSUS MEROKOK” dan tanda peringatan
pemerintah mengenai bahaya merokok “MEROKOK DAPAT
MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG IMPOTENSI DAN
GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”.
l. Pengelola gedung yang telah menyediakan Tempat Khusus merokok harus
memastikan perokok tidak merokok di tempat dilarang merokok.
m. Di ruangan lainnya dipasang tanda “DILARANG MEROKOK”.
n. Mendapatkan rekomendasi secara tertulis dari Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta bahwa Tempat Khusus
merokok tersebut telah memenuhi standar yang berlaku.8
8 Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Kualitas Udara Dalam
Ruangan (KUDR)
27
Dari semua substansi Undang-undang yang telah disebutkan dan
dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa udara yang bersih dan
lingkungan yang sehat adalah hak semua masyarakat baik orang perorangan
dan/atau kelompok orang. Dimana untuk mendapatkan udara yang sehat dan
bersih, diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk dapat
mencegah semakin parahnya pencemaran udara itu sendiri guna terwujudnya
derajat kesehatan yang optimal, yaitu tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan
mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta
kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus selalu
diusahakan peningkatannya secara terus menerus.
B. Teori Efektivitas
Sebagai tindak lanjut dari upaya pengendalian pencemaran udara yang
disebabkan oleh asap rokok maka ditetapkanlah beberapa peraturan yang
mengatur tentang kawasan dilarang merokok. Sebagaimana diuraikan di atas
bahwa peraturan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk hukum dari
upaya meminimalisir pencemaran udara karena asap rokok. Namum demikian hal
terpenting dari peraturan perundang-undangan yang ditetapkan adalah
sejauhmana peraturan tersebut efektif berlaku dan berdampak positif terhadap
tercapainya tujuan meminimalisir pencemaran udara yang disebabkan oleh asap
rokok. Dengan demikian efektivitas produk hukum yang dibuat menjadi perhatian
28
utama bagi pemerintah dalam menekan pencemaran udara yang disebabkan oleh
asap rokok.
Menurut Soerjono Soekanto masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktorfaktor
tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.9
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
Adapun sebuah peraturan hukum agar efektif pelaksanaanya dimasyarakat
adalah harus memenuhi 3 hal yaitu:10
9 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta:Raja
Gravindo Persada), Hal.8-9
10 Rica Noviandari, Tinjauan Yuridis Sosiologis Legalisasi Peraturan Desa Tanpa Keberadaan Badan
Perwakilan Desa (Malang: 2001) Hal. 29-30
29
1. Substansi:
- Isinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang ada di atasnya
- Sebuah peraturan harus dibuat oleh lembaga yang berwenang
- Isi dari Undang-undang memenuhi kebutuhan yang ada di masyarakat
- Mengandung sanksi yang tegas
- Memiliki nilai-nilai keadilan bagi masyarakat
2. Struktur:
Adanya lembaga yang mengawasi dalam pelaksanaan sebuah peraturan
sehingga menjamin penegakan hukum
3. Kultur
Sebuah peraturan jangan sampai membrangus keaslian dari adat
masyarakat, sehingga peraturan dibuat harus melihat dulu bagaimana
budaya dari masyarakat setempat, karena masyarakat cenderung enggan
mematuhi peraturan yang dirasa benar-benar telah membrangus keaslian
adat istiadat masyarakat setempat.
Efektivitas tidaknya fungsi hukum dapat pula dilihat dari kualitas
kepatuhan masyarakat. Anderson menjelaskan sebab-sebab anggota masyarakat
mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakaan publik yaitu:11
1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badanbadan
pemerintah
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan
11 Ibid. Hal 30-31
30
3. Adanya keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah, konstitusional, dan
dubuat oleh pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan
4. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu
lebih sesuai (bermanfaat) dengan kepentingan pribadi
5. Adanya sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan apabila tidak
melaksanakan suatu kebijakan
6. Adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan yang kontroversial
yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam
mengimplementasikannya.
Ragaan Seidman menjelaskan 3 butir terpenting mengenai efektivitas
hukum yaitu:
1. Mekanisme bekerjanya hukum sejak dari proses legislasi sampai
terimplementasikan dalam praktis tidak mungkin dapat netral dari intervensi
faktor-faktor ekstra yuridis.
2. Hukum merupakan instrumen pengendali individu-individu (pemegang peran)
sehingga faktor pemegang kebijakan pengendalian merupakan faktor penting
yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
3. Melalui mekanisme feed back dalam interaksi antara birokrasi sebagai
pelaksanaan dengan pemegang peran akan dapat berfungsi sebagai pengontrol
keberhasilan pencapaian tujuan. Sebagai tindak lanjut, perlu dilakukan
reorientasi penegakan hukum, reaktualisasi untuk menyelaraskan antara
31
norma dan fakta dan kemudian menyelaraskan antara implementasi dan asas
hukum yang mendasari.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas artinya dapat
membawa hasil, barhasil guna.12
Telah diketahui pula dalam melihat sistem bekerjanya suatu hukum maka
faktor sosiologis merupakan salah satu aspek penentu, sehingga dalam
membedakan sistem hukum Lawrence M. Friedman membagi dalam 3
komponen13:
1. Komponen Struktur
Adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan
berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem
hukum. Dikatakan demikian karena bekerjanya hukum dalam masyarakat
tidak terlepas dari pengaruh dan peranan lembaga-lembaga atau instansiinstansi
yang terkait, dalam hal ini adalah aparat. Pengertian aparat yang
baik disini meliputi:
a. Mentalitasnya atau moralnya, baik dalam arti jujur, mempunyai rasa
tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaanya, dapat bersikap sebagai
abdi masyarakat/public servent.
12 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998) Hal. 250
13 Ika Diana Agustini, Efektivitas Perda No. 15 1990 Diperbaharui Dengan Perda No. 12 1998
Tentang Ijin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Menunjang Pendapatan Asli Daerah (Malang:
2000)
32
b. Memiliki kecakapan/kemampuan yang tinggi untuk melaksanakan tugastugasnya.
2. Komponen Substansi
Adalah komponen luar dari sistem hukum termasuk norma-norma itu
sendiri baik berupa peraturan, keputusan yang semuanya digunakan untuk
mengatur tingkah laku manusia. Atau peraturan-peraturan/keputusankeputusan
yang menjadi landasan di dalam pembuatan Peraturan
3. Komponen Kultur
Adalah nilai dan sikap yang merupakan pengikat sistem hukum serta
mengetahui sistem hukum itu ditengah-tengah budaya bangsa sebagai
keseluruhan. Atau disebut juga sebagai komponen yang dapat memberikan
jawaban atas efektif tidaknya suatu peraturan hukum, dalam hal ini Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005, selain itu keberhasilan penyelangaraan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 juga tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif
anggota masyarakat. Masyarakat baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai
individu merupakan bagian integral yang sangat penting, karena setiap prinsip
penyelenggaraan peraturan ini ditujukan guna mewujudkan masyarakat yang
sehat. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat adalah sikap
mendukung terhadap penyelenggaraan peraturan ini yang antara lain
ditunjukkan melalui partisipasi masyarakat.
Dari pendapat Lawrence M. Friedman di atas maka dapat disimpulkan
bahwa berfungsinya hukum/peraturan sangatlah tergantung pada hubungan yang
33
serasi antara hukum itu sendiri, penegakan hukum, fasilitasnya dan masyarakat
yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur mungkin akan mengakibatkan
seluruh sistem akan terkena pengaruh negatif. Salah satu efek negatifnya bahwa
hukum tersebut tidak akan dipatuhi apabila tidak ada yang mengawasi
pelaksanaanya secara ketat, maka disitulah peluang untuk menerobosnya.
Akhirnya mengakibatkan hukum itu sendiri tidak efektif. Untuk itu dibutuhkan
sanksi yang tegas pada pelanggarnya.
Efektivitas sebuah peraturan berkaitan erat dengan keefektifan
pelaksanaan peraturan-peraturan lain yang telah ditetapkan. Keefektifan ini dapat
diukur dengan membandingkan jumlah yang ditetapkan dengan jumlah yang
dapat dipungut. Untuk itu diperlukan suatu kaidah/peraturan yang benar-benar
efektif, dimana dalam peraturan tersebut dibutuhkan 4 faktor pendukung:
1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri
Apakah peraturan tersebut sudah beres/belum.
2. Petugas hukum yang menegakkan atau yang menerapkannya
Apakah petugas hukum melaksanakan fungsinya sebagaimana ditentukan
dan diharapkan.
3. Fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum
Apakah fasilitas fisik sudah cukup memadai atau belum sebagai unsur
pendukung berproses hukum.
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
34
Sampai seberapa jauh derajat kepatuhan atau ketaatan hukum dari warga
masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto14, efektivitas diartikan taraf sampai sejauh
mana suatu kelompok mencapai tujuan. Selanjutnya hukum dikatakan efektif
apabila terjadi dampak hukum positif. Dengan demikian hukum mencapai
sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga
menjadi perilaku hukum.
Efektivitas hukum menyoroti mengenai bagaimana suatu peraturan yang
dibentuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga untuk mengukur efektivitas
dari suatu peraturan dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian tujuan yang
diinginkan. Jika peraturan tersebut telah mencapai tujuannya maka peraturan
dikatakan efektif begitupun sebaliknya. Efektifitas hukum menurut Soerjono
Soekanto15 dilihat melalui 5 hal:
1. Peraturan
Suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat umum agar
tujuan pembentukannya dapat tercapai (efektif) maka peraturan tersebut
harus dilihat secara jelas dalam arti mudah dicerna atau dimengerti, tegas
dan tidak menimbulkan arti ganda dan ditafsirkan lain yang akhirnya bisa
membuat peluang terjadinya ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap
peraturan tersebut.
14 Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, (Alumni: Bandung, 1983) hal. 41
15 Ibid
35
2. Aparaturnya
Aparatur hukum dalam melaksanakan tugasnya harus tegas. Dilain
sisi, aparaturnya juga harus melakukan komunikasi dengan masyarakat
berupa perilaku atau sikap yang positif yang bertindak sebagai aparatur
3. Masyarakatnya
Penerapan suatu peraturan harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana peraturan tersebut diberlakukan, jika tidak maka
peraturan tersebut tidak efektif.
4. Fasilitas Penunjang
Adalah sarana dalam menetukan bagaimana produk hukum itu
berjalan dengan lancar.
5. Badan hukum
Adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat
bertindak sebagai subjek hukum.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas suatu
peraturan tidak bisa lepas dari pengaruh hubungan yang serasi antara kelima
unsur tersebut diatas.
C. Tinjauan Terhadap Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia
Negara Indonesia sebagai negara hukum yang segala peraturannya di atur
oleh hukum, dimana konstitusinya tertuang dalam bentuk Undang Undang Dasar
36
dan dilaksanakan dalam bentuk undang-undang hingga ke tata urutan perundangundangan
yang paling bawah.
Segala bentuk peraturan yang menjadi kebijakan pemerintah harus
berdasarkan atas hukum dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang ada di atasnya.
Adapun tata urutan perundang-undangan menurut ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 adalah:16
1. Undang-undang Dasar
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undangundang
Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang
pelaksanaanya dilakukan dengan ketetapan MPR, Undang-undang atau
Keputusan Presiden.
2. Ketetapan MPR
a. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
dilaksanakan dengan undang-undang.
b. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden
3. Undang-undang/Perpu
a. Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-undang Dasar atau
Ketetapan MPR
16 C.S.T. Kansil, Praktek Hukum Peraturan Perundangan di Indonesia (Jakarta:Erlangga,1983),
hal.14
37
b. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan-peraturan sebagai pengganti undang-undang.
- Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut
- Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus
dicabut.
4. Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk
melaksanakan Undang-undang
5. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus
(einmahlig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar
yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau
Peraturan Pemerintah pusat.
6. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya
Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti: peraturan menteri,
instruksi menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas bersumber dan
bersumber pada peraturan-perundangan yang lebih tinggi.
pDengan menimbang bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia
dan tata urutan Peraturan Perundangan republik indonesia berdasarkan Ketetapan
MPR No. XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian sehingga tidak
dapat dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan untuk saat
38
ini. Disamping pertimbangan di atas, pertimbangan lain adalah dalam rangka
memantapkan perwujudan otonomi daerah yang perlu menempatkan peraturan
daerah dalam tata urutan perundang-undangan saat ini, maka Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berdasarkan pada pasal 2 ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tata urutan
Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam aturan hukum sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah17
Pada Undang-undang No.10 tahun 2004 sendiri menegaskan dalam pasal
7 ayat 1 dan 2 yaitu jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah:18
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
17 Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hal.34
18 Undang-undang No. 10 Tahun 2004
39
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
40
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis Kota Jakarta
Kota Jakarta merupakan kota pelabuhan yang terletak di bagian Utara pulau
Jawa. Secara geografis, Jakarta terletak pada 50 19’ 12” – 60 23’ 54” LS dan
1060 22’ 42” – 1060 58’ 18” BT. Dengan luas wilayah sebesar 740,28 km2.
2. Batas Wilayah dan Pembagian Wilayah
Wilayah Provinsi DKI Jakarta terdiri atas wilayah darat dan wilayah
laut sejauh dua belas mil laut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Selanjutnya secara keseluruhan wilayah DKI Jakarta memiliki
batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Laut Jawa
b. Sebelah Selatan : Kota Depok
c. Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi
d. Sebelah Barat : Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang
Pembagian wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam Kotamadya
dan Kabupaten Administrasi. Lalu wilayah Kotamadya dan Kabupaten
Administrasi dibagi dalam kecamatan, sedangkan wilayah kecamatan dibagi
dalam kelurahan. DKI Jakarta yang luas ini terdiri dari lima Kotamadya dan
satu Kabupaten Administratif, yang berkedudukan sebagai daerah swatantra
41
tingkat dua, di bawah pengawasan kantor Gubernur. Kelima Kotamadya
tersebut adalah Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan,
Jakarta Pusat dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Tiap Kotamadya dikepalai
oleh seorang Walikota yang membantu mempersiapkan perencanaan
wilayahnya, sedangkan Kepulauan Seribu dikepalai oleh seorang Bupati
bertanggung jawab dalam bidang keuangan. Masing-masing wilayah kota
membawahi sejumlah kecamatan dan kelurahan. Di seluruh DKI Jakarta
terdapat 43 kecamatan dan 265 kelurahan. Selain itu terdapat juga organisasiorganisasi
kemasyarakatan yakni Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
yang berada di bawah yuridiksi kecamatan.
3. Kondisi Kependudukan
Kota Jakarta merupakan kota impian bagi para urban dari berbagai
daerah di Indonesia untuk mengadu nasib dan mencari keberuntungan di kota
ini. Fenomena ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat peran Jakarta
yang multidimensi sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, sosial budaya,
industri, ekonomi dan perdagangan. Oleh karena itu penduduk Jakarta
memang sangat beragam yang menggambarkan Indonesia itu sendiri yaitu
Bhineka Tunggal Ika.
Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Pemda DKI Jakarta
jumlah penduduk kota Jakarta bisa dikatakan sangat padat yaitu pada tahun
2004 saja tercatat jumlah penduduk Jakarta sebanyak 8.792.000 jiwa. Dengan
tingkat kepadatan penduduk sebesar 16.667/km2.
42
4. Gambaran Kawasan Dilarang Merokok
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang pengamanan rokok
bagi kesehatan Pasal 22 dan dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005
tentang pengendalian pencemaran udara Pasal 13 ayat (1) mengatur tentang
kawasan dilarang merokok. Namun dalam Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 tentang kawasan dilarang merokok lebih dipertegas lagi yaitu:
1. Tempat umum
Adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta atau
perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk
tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung
perkantoran umum, tempat pelayanan umum antara lain terminal termasuk
terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba
ada, hotel, restoran, dan sejenisnya.
2. Tempat kerja
Tempat kerja adalah ruang tertutup yang bergerak atau tetap dimana
tenaga kerja bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan
tempat sumber-sumber bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran,
ruang rapat, ruang sidang/seminar, dan sejenisnya.
3. Tempat proses belajar-mengajar
Adalah Tempat proses belajar-mengajar atau pendidikan dan pelatihan
termasuk perpustakaan, ruang praktik atau laboratorium, museum, dan
sejenisnya.
43
4. Tempat pelayanan kesehatan
Adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, seperti rumah sakit,
Puskesmas, praktik dokter, praktik bidan, toko obat atau apotek, pedagang
farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, dan tempat kesehatan
lainnya, antara lain pusat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin, Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).
5. Arena kegiatan anak-anak
Adalah tempat atau arena yang diperuntukan untuk kegiatan anakanak,
seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak,
arena bermain anak-anak, atau sejenisnya.
6. Tempat ibadah
Adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti
masjid termasuk mushola, gereja termasuk lapel, pura, wihara, dan
kelenteng.
7. Angkutan umum
Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat
berupa kendaraan darat, air, dan udara termasuk di dalamnya taksi, bus
umum, busway, mikrolet, angkutan kota, kopaja, kancil, dan sejenisnya.
44
B. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No.75 Tahun 2005 Tentang Kawasan
Dilarang Merokok
1. Kesadaran masyarakat DKI Jakarta dalam pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005
Kesadaran masyarakat DKI Jakarta dalam pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok masih
rendah. Peneliti dapat menyimpulkan demikian karena ternyata masih banyak
masyarakat yang masih merokok di sembarangan tempat walaupun
sebenarnya mereka mengetahui adanya Peraturan Gubernur No. 75 tahun
2005 tentang kawasan dilarang merokok dan sudah disediakan kawasan untuk
merokok. Seperti yang peneliti saksikan yang terjadi di Pusat Grosir Cililitan
terdapat 34 orang yang terjaring pada saat operasi yustisi yang dilakukan oleh
petugas Trantib. Mereka yang terjaring merupakan pengunjung Pusat Grosir
Cililitan (PGC) dan kebanyakan dari mereka mengetahui adanya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, tetapi
mereka tetap saja merokok di sembarangan tempat walaupun di semua lantai
gedung PGC dari Lower Ground lantai 1, 2, 3, telah di sediakan smoking
room yang letaknya sangat strategis. Seperti pengakuan Hendra (25) penjaga
counter handphone di PGC lantai 3 yang tertangkap basah saat sedang
merokok di PGC, dia mengaku bahwa dirinya biasa tiap hari merokok di
counter tempatnya bekerja dan selama ini tidak pernah di tangkap, dan dia
45
juga mengaku mengetahui adanya Peraturan Gubernur tersebut.19 Sama
seperti pengakuan Fauzi (19) pelajar kelas 3 SMK Tubun Bhayangkari yang
ikut tertangkap saat merokok di PGC, dia mengatakan bahwa “saya baru saja
pulang ujian lalu main kemari pas mau merokok di tangkap Trantib
sebenarnya saya tahu kalau ada Peraturan Gubernur larangan merokok di
televisi tapi saya tidak tahu kalau Peraturan tersebut sudah mulai
diberlakukan”.20
Tabel 1
Pengetahuan Responden Tentang Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
No Nama Responden
Pengetahuan
Tentang Pergub
No. 75 /2005
Pengetahuan Tentang
Kawasan Dilarang
Merokok
1 Fauzi Mengetahui Mengetahui
2 Hendra Mengetahui Mengetahui
3 Emy Prasetyo Mengetahui Mengetahui
4 Daliman Mengetahui Mengetahui
5 Aries S. Mengetahui Mengetahui
6 Sihabudin Mengetahui Mengetahui
7 Habib Mengetahui Mengetahui
8 Syarief Mengetahui Mengetahui
9 Anwar Mengetahui Mengetahui
10 Fitri Mengetahui Mengetahui
11 Wawan Mengetahui Mengetahui
12 Kartika Mengetahui Mengetahui
13 Junaidi Mengetahui Mengetahui
14 Supardi Mengetahui Mengetahui
Sumber data: data primer (wawancara dengan responden)
2 Wawancara dengan Fauzi (19) seorang penjaga counter HP di PGC pada tanggal 5 September
2006 pukul 11.30 WIB
20 Wawancara dengan Fauzi (19) seorang pelajar SMK Tabun Bhayangkari pada tanggal 5
September 2006 pukul 11.30 WIB
46
Dari data diatas dapat diketahui bahwa 100 % atau semua responden
yang peneliti wawancarai mengetahui atas diberlakukannya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
Menurut Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok Pasal 2 tujuan dari diberlakukannya Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005 yaitu untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat,
meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara
yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan
mencegah perokok pemula, dan mewujudkan generasi muda yang sehat.
Pemahaman masyarakat tentang tujuan dari diberlakukannya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok masih
kurang. Menurut wawancara yang peneliti lakukan dengan responden hal ini
dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah DKI
Jakarta yang tidak menyeluruh. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2
Pemahaman Responden Tentang Tujuan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
No Nama Responden
Pemahaman Responden Tentang Tujuan
Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005
1 Fauzi Tidak mengetahui
2 Hendra Tidak mengatahui
3 Emy Prasetyo Mengetahui
4 Daliman Tidak mengetahui
5 Aries S. Tidak mengetahui
6 Sihabudin Tidak mengetahui
7 Habib Mengetahui
8 Syarief Mengetahui
47
9 Anwar Tidak mengetahui
10 Fitri Mengetahui
11 Wawan Mengetahui
12 Kartika Mengetahui
13 Junaidi Tidak mengetahui
14 Supardi Tidak mengetahui
Sumber data: data primer (wawancara dengan responden)
Dari data diatas dapat diketahui bahwa masih banyak responden yang
tidak mengetahui tujuan dari Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok. Dari 14 responden yang peneliti wawancarai 8
responden atau 57 % responden tidak mengetahui tujuan dari diberlakukannya
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok
dan 6 responden atau 43 % mengetahui tujuan dari diberlakukannya Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
Dalam pelaksanaanya setelah peneliti wawancara sebagian besar
responden pernah melakukan pelanggaran dengan merokok di kawasan
dilarang merokok. Namun ada sebagaian dari responden yang terkena sanksi
karena diketahui oleh petugas dan ada juga yang tidak terkena sanksi karena
tidak diketahui oleh petugas dan masing-masing responden dikenai sanksi
dengan jumlah yang berbeda.
2. Penegakan hukum Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok
yang mengakibatkan masih banyak dari responden yang peneliti wawancarai
48
melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Gubernur tersebut, hal ini
diakibatkan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI
Jakarta. Seperti yang diakui oleh salah seorang pengurus Masjid Nurul Falah,
Cawang, Jakarta Timur, Sihabudin. Pihaknya tidak pernah menerima
permintaan langsung dari aparat pemerintah setempat untuk menerapkan
larangan merokok di kawasan masjid. Ia berharap jika larangan itu ada,
pemerintah bisa menyediakan sarana sosialisasi baik stiker ataupun spanduk.
Karena menurutnya “memang jika sedang waktu sholat dengan sendirinya
tidak ada jamaah yang merokok karena itu dilarang oleh agama, namun saat
pertemuan-pertemuan warga atau pengajian masih banyak warga yang
merokok”.21
Sosialisasi juga tidak tampak di angkutan umum baik bis kota maupun
mikrolet. Banyak penumpang yang masih saja seenaknya menyemburkan asap
rokok di depan muka banyak orang yang duduk di depannya. Seperti nampak
pada angkutan kota (Angkot) KWK 19,04,06, 16, maupun bis jurusan
Kampung Rambutan-Kota.
Menurut Junaidi, seorang supir angkutan kota 19 jurusan Cililitan-
Kalimalang, ia mengaku tidak begitu mengetahui larangan merokok di
angkutan umum. Selain itu, Pemda tidak pernah menyebarkan stiker maupun
3 Wawancara dengan Sihabudin (40) seorang pengurus Masjid Nurul Falah, Cawang, jakarta Timur
pada tanggal 6 september 2006 pukul 15.40 WIB
49
poster yang berisi larangan merokok di angkutan umum22. Hal yang sama di
kemukakan oleh Supardi, seorang supir bis kota P11 jurusan Kampung
Rambutan-Kota. Menurutnya tidak pernah ada sosialisasi khusus baik dari
pemerintah maupun dari perusahaan tempatnya bekerja. Stiker larangan
merokok juga tidak pernah dibagikan kepadanya. Sehingga tidak bisa
melarang penumpang yang merokok saat menumpang bisnya.23
Seperti yang peneliti lihat sendiri bahwa larangan merokok tidak
terlihat jelas di terminal Kampung Melayu, stasiun Jatinegara, terminal
Cililitan, dan terminal Pulo Gadung. Peneliti melihat sejumlah orang masih
merokok di tempat-tempat tersebut dengan bebas. Padahal larangan merokok
juga diberlakukan di terminal, dan stasiun, karena merupakan bagian dari
tempat umum.
Hal yang sama juga terjadi di lingkungan Kantor Walikota Jakarta
Timur, larangan merokok seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok tidak di
sosialisasikan secara tegas dan jelas. Sejumlah pegawaipun tampak masih
merokok di tempat-tempat yang seharusnya bebas dari asap rokok. Kepatuhan
untuk tidak merokok di tempat yang dilarang agaknya hanya berlaku saat
inspeksi mendadak saja.
22 Wawancara dengan Junaidi (27) seorang supir angkutan kota, di terminal Pulo Gadung pada
tanggal 29 Agustus 2006 pukul 12.30 WIB
23 Wawancara dengan Supardi (34) seorang supir bis kota, di terminal Pulo Gadung pada tanggal 30
Agustus 2006 pada pukul 12.50 WIB
50
Tabel 3
Pernah/Tidaknya Responden Melanggar Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
No Nama Responden Merokok di Kawasan
Dilarang Merokok
Sanksi Yang
Diberikan
1 Fauzi Pusat Grosir Cililitan Rp.20.000
2 Hendra Pusat Grosir Cililitan Rp.20.000
3 Emy Prasetyo -- --
4 Daliman Mall Taman Anggrek Rp.50.000
5 Aries S. Mall Klapa Gading --
6 Sihabudin -- --
7 Habib Stasiun Gambir --
8 Syarief Plaza Senayan --
9 Anwar Hotel Horison Rp.50.000
10 Fitri -- --
11 Wawan -- --
12 Kartika -- --
13 Junaidi Terminal Rawamangun Rp.20.000
14 Supardi Terminal Pulogadung Rp.20.000
Sumber data: data primer (wawancara dengan responden)
Dari data diatas dapat diketahui bahwa dari 14 responden, 6 atau 36 %
responden tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Gubernur
No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok dan 9 atau 64 %
responden mengaku pernah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok. Namun
dalam pelaksanaannya ada sebagian dari responden yang pernah melakukan
pelanggaran tetapi tidak dikenai sanksi seperti Aries, Habib, dan Syarief,
karena pada saat itu tidak ada petugas yang sedang berpatroli dan ada juga
yang dikenai sanksi seperti Fauzi, Hendra, Daliman, Anwar, Junaidi, dan
Supardi, karena diketahui oleh petugas yang sedang berpatroli. Sanksi yang
diberikan kepada responden yang melakukan pelanggaranpun beragam. Fauzi,
Hendra, Junaidi, dan Supardi dikenai sanksi sebesar Rp. 20.000,- oleh petugas
51
sedangkan Daliman dan Anwar dikenai sanksi sebesar Rp. 50.000,- oleh
petugas.
Menurut Jornale Siahaan24, S.H. M.Si, Wakil Kepala Dinas
Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta
kesiapan penyediaan tempat khusus merokok di: Plaza Senayan, Kantor
Dephub RI, Kantor Menko Polkam, Telkom, Plaza EX, Gedung Surya,
Indosat, Sarinah, Wisma Antara, Bangkok Bank, Hotel Sari Pan Pacific, dan
Carrefur Ratu Plaza, Mall Kelapang Gading dan Mega Mall Pluit. Pusat
Grosir Cililitan dan Arion Plaza Pondok Indah Mall, Cilandak Town Square,
Wisma Indocement, dan Plaza Semanggi, Mall Citraland dan Mall Taman
Anggrek, masih belum memenuhi Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006
tentang KUDR antara lain ruangan khusus merokok tidak dilengkapi
penghisap asap, ruangan hanya terdapat lubang angin saja, masih minimnya
rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk larangan merokok.
Hal ini juga terjadi di gedung Pemda DKI Jakarta seperti wawancara
yang dilakukan dengan Daliman (30)25 seorang Satpam di gedung Pemda DKI
Jakarta mengatakan bahwa pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok di lingkungan Pemda DKI Jakarta
sudah berjalan, akan tetapi fasilitas atau kawasan merokok yang disediakan
24 Wawancara dengan Jornale Siahaan, SH M.Si, Wakil Kepala Dinas Ketentraman Ketertiban dan
Perlindungan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 4 September 2006 pada pukul 11.20
WIB
25 Wawancara dengan Daliman (30) seorang satpam Pemda DKI Jakarta pada tanggal 23 Agustus
2006 pukul 12.30 WIB
52
oleh Pemda DKI Jakarta masih kurang. Di gedung Pemda ini hanya
menyediakan satu buah tempat khusus untuk merokok yang berada di lantai 1,
padahal gedung Pemda DKI Jakarta tersebut ada 20 lantai, dan ruangan
khusus merokok itu hanya terdiri dari tempat duduk, asbak dan penghisap
angin saja, kondisi ini mengakibatkan banyak pegawai yang melanggar
Peraturan Gubernur tersebut dengan merokok di teras-teras luar gedung
karena menurut mereka merokok di ruangan tersebut pengap dan membuat
baju kerja mereka menjadi bau rokok.
Menurut Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok Pasal 18 kawasan merokok harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Tempatnya harus terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan
kawasan dilarang merokok
b. Dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara
c. Dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok
d. Dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi
kesehatan.
Sedangkan menurut buku Penyuluhan Hukum Terpadu/Sosialisasi
Mengenai Kawasan Dilarang Merokok yang diatur dalam Peraturan Gubernur
53
Provinsi DKI Jakarta No. 52 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian
Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR)26, bahwa:
a. Tempat khusus merokok dibuat terpisah dengan ruangan lainnya secara
struktur tertutup dengan dinding, atas dan lantai. Pintu tertutup rapat
dengan mempergunakan weather stripping dan dapat tertutup secara
otomatis.
b. Dilengkapi dengan tempat duduk, pembuangan abu rokok (asbak) dan
sampah yang memadai dengan kapasitas orang yang merokok dan terbuat
dari bahan yang tidak mudah terbakan.
c. Tempat khusus merokok dibuat bertekanan udara lebih rendah dari
ruangan sekitarnya untuk memastikan udara tersebut tidak keluar
mencemari udara ruangan lainnya.
d. Posisi masuknya udara segar (supplay) dan udara pembuangan (return)
berada pada jarak yang cukup dan tidak mengakibatkan efek short cycling
yang menghambat pergerakan asap dan memenuhi ruangan tersebut.
e. Mempergunakan unit pengendali udara (Air Handling Unit/Cooling Coil
Unit) yang terpisah dengan ruangan lainnya untuk mencegah kontaminasi
silang (cross contamination).
f. Unit pengendali udara tersebut memenuhi kapasitas pertukaran udara (air
change) yang sesuai dengan besarnya tempat khusus merokok.
26 Biro Hukum Provinsi DKI Jakarta, Penyuluhan Hukum Terpadu/Sosialisasi Mengenai Kawasan
Dilarang Merokok, Jakarta 2006
54
g. Unit pengendali udara tersebut mempergunakan sistem filter berefisiensi
tinggi non-ionizing yang dapat menyaring hingga 99 % semua partikel di
bawah 1 mikron dan tidak menimbulkan ozon atau gas berbahaya lainnya
dalam kondisi berjalan normal.
h. Filter yang dipergunakan tidak menghasilkan radiasi elektromagnetik yang
dapat menggangu kinerja alat eletronik lainnya dan beroperasi dengan
konsumsi daya listrik yang rendah/hemat energi dalam kondisi berjalan
normal.
i. Filter tersebut telah lulus ETS Chamber Test dan mendapatkan sertifikat
standarisasi ISO 14644-1 (Class 8).
j. Tempat khusus merokok secara berkala dipelihara dan diperiksa untuk
menjaga efektifitasnya.
k. Memasang tanda “TEMPAT KHUSUS MEROKOK” dan tanda
peringatan pemerintah mengenai bahaya merokok “MEROKOK DAPAT
MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG IMPOTENSI
DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”.
l. Pengelola gedung yang telah menyediakan Tempat Khusus merokok harus
memastikan perokok tidak merokok di tempat dilarang merokok.
m. Di ruangan lainnya dipasang tanda “DILARANG MEROKOK”.
n. Mendapatkan rekomendasi secara tertulis dari Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta bahwa
Tempat Khusus merokok tersebut telah memenuhi standar yang berlaku.
55
Dari penelitian yang saya lakukan baik melalui wawancara dan
observasi maka tempat khusus merokok di semua gedung yang telah tersedia
belum memenuhi standart yang telah ditentukan dalam Peraturan Gubernur
No. 52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR), yaitu
tempat khusus merokok dibuat terpisah dengan ruangan lainnya secara
struktur tertutup dengan dinding, atas dan lantai. Pintu tertutup rapat dengan
mempergunakan weather stripping saja dan hanya dilengkapi tempat duduk,
pembuangan abu rokok ( asbak) dan sampah bagi para perokok.
Menurut wawancara yang peneliti lakukan dengan M.A. Farick, SH,
M.Si seorang kepala bagian biro hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
bagian Hukum, bahwa petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan Gubernur No.
75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan ketentuan sanksisanksi
yang dijatuhkan kepada para pelanggarnya adalah sebagai berikut:27
a. Petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005
a) Menunjuk Kepala Trantib sebagai ketua pelaksananya, Kepala
BPLHD sebagai ketua I dan Kepala Biro Kesehatan Masyarakat
sebagai ketua II. Ketiganya akan bertugas untuk mengkoordinasikan
penempatan petugas di lapangan.
b) Pembentukan 27 unit Satuan Tugas (Satgas) untuk mengawasi
kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta, setiap unitnya
27 Wawancara dengan Bpk. M.A. Farick, SH, M.SI seorang pegawai Pemerintah Propinsi DKI
Jakarta bagian Hukum, pada tanggal 8 September 2006 pukul 12.30 WIB
56
beranggotakan maksimal sembilan orang dari unsur Pendidikan dasar,
Pendidikan Menengah, dan Tinggi, Kesehatan Masyarakat, Badan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Perhubungan, LSM dan Trantib.
c) Pengawasan di tujuh kawasan dilarang merokok dilakukan oleh
instansi terkait, sebagai berikut:
1) Tempat pelayanan kesehatan, pengawasan dilakukan oleh Dinas
Kesehatan DKI.
2) Angkutan umum, pengawasan dilakukan oleh petugas dinas
Perhubungan DKI.
3) Tempat proses belajar-mengajar, pengawasan dilakukan oleh
Dinas Pendidikan dasar dan Dinas Pendidikan Menengah dan
tinggi (Dikmenti) DKI.
4) Tempat ibadah, pengawasan dilakukan oleh Kanwil Agama
setempat.
5) Tempat umum, pengawasan dilakukan oleh Dinas Trantib
termasuk Dinas Pengawas bangunan.
6) Tempat kerja, pengawasan dilakukan oleh kepala unit kerja
masing-masing.
7) Arena kegiatan anak-anak, pengawasan dilakukan oleh Dinas Bina
Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial.
57
d) Setelah sosialisasi dilakukan penegakan isi Peraturan Gubernur ini
akan dilakukan oleh Satpol PP di kawasan-kawasan yang menjadi
target operasi, termasuk gedung perkantoran.
b. Ketentuan sanksi terhadap Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005
Untuk mengamankan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan
Gubernur No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah menyiagakan 4000 aparat Trantib
dan Linmas DKI serta Petugas Penyidik Pegawai Sipil (PPNS) dari
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta.
Apabila pelanggaran terhadap Peraturan Gubernur ini dilakukan
berkali-kali, maka warga yang melanggar akan dikenai sanksi berupa
kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal 50 juta. Karena ada
dua objek pengawasan, yakni pengelola gedung dan perokok, maka
proses pemberian sanksi atau bahkan denda dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Bila yang melanggar adalah pihak pengelola gedung
Maka BPLHD akan memberi sanksi administratif kepada pengelola
gedung yang tidak menyiapkan tempat khusus untuk merokok.
Sanksi administratif tersebut berupa surat peringatan tertulis yang
diterbitkan oleh Wali Kotamadya kepada pengelola gedung yang
melanggar ketentuan Peraturan Gubernur tersebut.
b. Bagi perokok
58
Bagi perokok yang tertangkap basah oleh aparat yang berwenang
sedang merokok di kawasan dilarang merokok, maka dilakukan
proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat Trantib dan Linmas,
PPNS, serta BPLHD.
- Bila proses penyidikan sudah selesai, maka akan dilakukan
pemberkasan kemudian dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
- Pihak penyidik akan mencatat nama, umur, dan alamat perokok yang
tertangkap dan menyita Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya.
- Berkas yang sudah selesai tadi diserahkan ke Koordinator Pengawas
(Korwas) Polda Metro Jaya yang selanjutnya dilimpahkan ke
kejaksaan.
3. Efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok
Untuk memberikan penilaian secara objektif, peneliti menggunakan
pendapat Soerjono Soekanto28 bahwa efektifitas pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan dapat diukur dengan melihat faktor-faktor pendukung
dari penegakan hukum itu sendiri apakah sudah terpenuhi atau belum. Faktorfaktor
penegakan hukum tersebut adalah faktor hukum itu sendiri, faktor
penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pengakan
28 Soekanto Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grafindo
Persada. 2005 Jakarta. Hal 8
59
hukum, faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan, dan faktor
budaya.
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri. Yaitu dalam pasal-pasal yang
termuat masih memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran terhadap
Peraturan Gubernur tersebut, yaitu pada Pasal 6 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 5
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 yang menyebutkan “Pimpinan
dan/atau penanggungjawab tempat umum dapat menyediakan tempat
khusus untuk merokok sebagai kawasan merokok”. Bila ditelaah lebih
jauh kata “dapat” seolah memberikan kesan bahwa pimpinan/penanggung
jawab tempat umum tidak harus menyediakan tempat khusus untuk
merokok. Atau dengan kata lain bila suatu tempat umum tidak ada tempat
khusus inipun juga tidak akan dikenai sanksi, padahal fasilitas ini
merupakan pendukung suksesnya pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 di lapangan.
2. Faktor aparat penegak hukum memegang peranan penting juga sebagai
tolak ukur bagi efektif tidaknya suatu hukum atau peraturan yang berlaku.
Seperti halnya dengan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, aparat
pemerintah daerah yang diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi
berjalannya Peraturan Gubernur ini masih terkesan setengah hati.
Misalnya saja pengawasan tidak dilakukan setiap hari dan dalam 24 jam
penuh. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan jumlah petugas di lapangan
60
dan keterbatasan jumlah anggaran biaya operasional sebagai pendukung
suksesnya pelaksanaan Peraturan Gubernur ini.
3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung yang memadai. Sarana atau fasilitas
merupakan alat untuk mencapai tujuan dari suatu kebijakan yang
digulirkan pada publik. Seperti halnya Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 yang melarang warga Jakarta merokok di tujuh kawasan dilarang
merokok. Tentu saja warga yang merokok akan dibatasi haknya untuk
merokok agar hak warga yang bukan perokok untuk menghirup udara
bersih tanpa asap rokok dapat terlindungi. Untuk menjamin hak kedua
belah pihak maka perokok akan disediakan tempat khusus untuk merokok.
Penyediaan sarana tersebut tentu saja juga memerlukan biaya, dimana
penanggung jawab dana tetap diserahkan kepada pengelola gedung itu
sendiri. Bila kondisi ini tetap dipertahankan maka pihak pengelola gedung
bisa saja beralasan belum tersedianya dana untuk membangun sarana
khusus untuk merokok di gedung yang dikelolanya. Selain itu sarana
sebagai kawasan untuk merokok atau tempat khusus merokok tidak
memenuhi Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tantang Pedoman
Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR). Pengelola gedung
hanya menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan tempat duduk,
tempat pembuangan abu rokok dan sampah saja.
4. Faktor yang akan menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum atau
peraturan adalah faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan.
61
Kondisi riil masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya
adalah kesadaran hukum masyarakatnya masih sangat rendah. Mereka
hanya mematuhi peraturan apabila ada petugas/aparat yang sedang
bertugas. Sebagaimana pelaksanaan Peraturan Gubernur tentang Kawasan
Dilarang Merokok, kepedulian masyarakat masih kurang. Terbukti masih
banyak warga Jakarta yang merokok di kawasan yang telah ditetapkan
sebagai area bebas rokok, seperti terminal, di dalam angkutan umum yang
biasanya dilakukan oleh para supir angkutan umum, di tempat kerja dan
sebagainya. Bahkan ketika petugas sedang merazia di tempat-tempat
umum, masih ada warga yang tertangkap basah sedang merokok di
kawasan bebas rokok.
5. Faktor yang terakhir adalah faktor kebudayaan. Kebudayaan yang ada di
suatu masyarakat akan mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan
masyarakatnya. Kebudayaan yang negatif tentu saja akan membentuk
masyarakat bercitra buruk pula. Kebiasaan merokok di sembarang tempat
sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Tentu saja
kondisi ini sangat menyulitkan penerapan dan pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 di lapangan karena mengubah kebiasaan
yang sudah berakar memerlukan waktu yang cukup lama.
Dengan melihat faktor-faktor pendukung untuk tegaknya suatu hukum
atau peraturan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok dalam
62
kenyataannya masih belum efektif, sehingga diperlukan penataan kembali dari
semua unsur-unsur yang mendukung suksesnya pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok.
C. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Berdasarkan penjelasan pada sub-bab sebelumnya dapat diketahui faktorfaktor
yang menghambat efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok adalah faktor Peraturan Gubernur
itu sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat
dan faktor kebudayaan. Dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri. Yaitu dalam pasal-pasal yang termuat
masih memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran terhadap Peraturan
Gubernur tersebut, misalnya pada Pasal 6 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 5 Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 yang menyebutkan “Pimpinan dan/atau
penanggungjawab tempat umum dapat menyediakan tempat khusus untuk
merokok sebagai kawasan merokok”. Bila ditelaah lebih jauh kata “dapat”
seolah memberikan kesan bahwa pimpinan/penanggung jawab tempat umum
tidak harus menyediakan tempat khusus untuk merokok. Atau dengan kata
lain bila suatu tempat umum tidak ada tempat khusus inipun juga tidak akan
dikenai sanksi, padahal fasilitas ini merupakan pendukung suksesnya
pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 di lapangan.
63
2. Faktor aparat penegak hukum memegang peranan penting juga sebagai tolak
ukur bagi efektif tidaknya suatu hukum atau peraturan yang berlaku. Seperti
halnya dengan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, aparat pemerintah daerah
yang diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi berjalannya Peraturan
Gubernur ini masih terkesan setengah hati. Misalnya saja pengawasan tidak
dilakukan setiap hari dan dalam 24 jam penuh. Hal tersebut dikarenakan
keterbatasan jumlah petugas di lapangan dan keterbatasan jumlah anggaran
biaya operasional sebagai pendukung suksesnya pelaksanaan Peraturan
Gubernur ini.
3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung yang memadai. Dalam pelaksanaanya
tempat khusus untuk merokok tidak dibuat sesuai dengan Peraturan Gubernur
No. 52 tentang KUDR. Tempat khusus yang telah disediakan oleh pengelola
gedung hanya dibuat dengan alakadarnya, yaitu hanya menyediakan tempat
duduk dan tempat pembuangan abu rokok (asbak) dan sampah saja. Dengan
kata lain sarana dan prasarana yang disediakan oleh pihak pengelola gedung
tidak memenuhi standart yang telah ditentukan oleh pemerintah yang telah
ditetapkan melalui Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR).
4. Faktor yang akan menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum atau peraturan
adalah faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan. Kondisi riil
masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya adalah kesadaran
64
hukum masyarakatnya masih sangat rendah. Mereka hanya mematuhi
peraturan apabila ada petugas/aparat yang sedang bertugas. Selain itu
masyarakat juga masih banyak yang tidak mengetahui tujuan dari
diberlakukannya Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan
dilarang merokok dan masih ada masyarakat yang melanggar walaupun
mereka mengetahui adanya peraturan Gubernur ini.
5. Faktor yang terakhir adalah faktor kebudayaan. Kebudayaan yang ada di suatu
masyarakat akan mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan masyarakatnya.
Kebudayaan yang negatif tentu saja akan membentuk masyarakat bercitra
buruk pula. Kebiasaan merokok di sembarang tempat sepertinya sudah
menjadi budaya masyarakat Indonesia. Tentu saja kondisi ini sangat
menyulitkan penerapan dan pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 di lapangan karena mengubah kebiasaan yang sudah berakar
memerlukan waktu yang cukup lama.
D. Upaya-upaya Yang Dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Dalam
Meningkatkan Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok
Setelah beberapa bulan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 ini
diberlakukan efektif mulai 6 April 2006, banyak kalangan yang menilai
pelaksanaannya kurang efektif di lapangan. Setelah dilakukan evaluasi, maka
didapatkan beberapa kendala di lapangan. Adanya kendala bukan berarti
65
dihindari, tetapi harus dicari jalan keluarnya. Berikut ini adalah upaya-upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mensukseskan pelaksanaan
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok,
yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melakukan sosialisasi yang
terus-menerus sampai masyarakat benar-benar mengerti akan fungsi dan
tujuan diberlakukannya Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
Kawasan Dilarang Merokok.
2. Pemerintah terus melakukan sosialisasi di seluruh kawasan dilarang merokok
tidak hanya di kampus, di daerah industri, di perkantoran dan di jalan-jalan
protokol saja, melainkan juga di terminal-terminal, stasiun-stasiun di wilayah
DKI Jakarta melalui media massa, road show, famplet, poster, spanduk dan
stiker yang akan dibagikan kepada masyarakat DKI Jakarta.
3. Pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap substansi Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yaitu pada
pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5).
4. Meningkatkan pelayanan aparat pemerintah dalam melaksanakan pengawasan
yaitu dengan melakukan pengawasan setiap hari disetiap kawasan dilarang
merokok.
5. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi Peraturan Gubernur No. 52
Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR). Dalam hal ini
pemerintah DKI Jakarta harus memerintahkan kepada semua
66
pimpinan/penanggung jawab tempat atau kawasan agar secepatnya membuat
dan menyediakan kawasan merokok yang sesuai dengan panduan Kualitas
Udara Dalam Rungan (KUDR) demi tercapainya tujuan dari Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, serta
pemerintah jangan segan-segan lagi untuk memberikan sanksi administrasi
berupa penghentian sementara kegiatan usaha dan kalau perlu mencabut izin
perusahaan tersebut yang belum melanggar Peraturan Gubernur tersebut.
67
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan selama ini, dari permasalahan
yang penulis angkat, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan
Dilarang Merokok di DKI Jakarta ini belum efektif, hal tersebut dapat dilihat
dari beberapa faktor yaitu:
a. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri yaitu Peraturan Gubernur No. 75
Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, yaitu mengenai
tanggung jawab pimpinan/pengelola gedung di dalam Pasal 6 ayat 5 dan
Pasal 7 ayat 5 tersebut menyebutkan bahwa pimpinan/pengelola gedung
dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok, yang bila ditelaah lebih
jauh kata “dapat” seolah memberikan kesan bahwa pimpinan/pengelola
gedung tidak harus menyediakan tempat khusus untuk merokok dan
apabila pengelola gedung tidak menyediakan tempat khusus untuk
merokok juga tidak melanggar hukum.
b. Faktor aparat penegak hukum, aparat tidak melakukan pengawasan setiap
hari dan dalam 24 jam dan kurangnya jumlah aparat yang melakukan
pengawasan sehingga masih banyak masyarakat yang melanggar
68
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok.
c. Faktor sarana dan prasaran atau fasilitas seperti kawasan merokok atau
tempat merokok masih kurang dan tidak memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang KUDR.
d. Faktor masyarakat DKI Jakarta yang masih memiliki tingkat kesadaran
hukum yang rendah.
e. Faktor kebudayaan, bahwa kebiasaan merokok disembarang tempat
sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat DKI Jakarta. Tentu saja
kondisi ini sangat menyulitkan penerapan dan pelaksanaan Peraturan
Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok di
lapangan karena mengubah kebiasaan yang sudah berakar memerlukan
waktu yang cukup lama.
2. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan
Dilarang Merokok ini mengalami kendala-kendala yaitu:
a. Substansi dari Peraturan Gubernur itu sendiri yaitu pada Pasal 6 ayat 5 dan
pasal 7 ayat 5 yang tidak tegas.
b. Kurangnya pengawasan dari aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok yang dikarenakan keterbatasan jumlah petugas di lapangan dan
keterbatasan jumlah anggaran buaya operasional sebagai pendukung
suksesnya pelaksanaan Peraturan Gubernur ini.
69
c. Sarana dan prasarana yang tidak memadai, yaitu tempat khusus untuk
merokok yang tidak memenuhi Peraturan Gubernur No.52 Tahun 2006
tentang KUDR.
d. Kesadaran masyarakat yang rendah
e. Faktor kebudayaan. Kebiasaan merokok di sembarang tempat sudah
menjadi budaya masyarakat DKI Jakarta. Tentu saja kondisi ini sulit
diubah dan memerlukan waktu yang cukup lama agar Peraturan Gubernur
ini dapat berjalan efektif.
3. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta dalam meningkatkan
efektifitas pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok yaitu dengan:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melakukan sosialisasi yang
terus-menerus dan menyeluruh sampai masyarakat benar-benar
mengetahui dan memahami akan fungsi dan tujuan diberlakukannya
Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang
Merokok.
b. Pemerintah terus melakukan sosialisasi di seluruh kawasan dilarang
merokok tidak hanya di kampus, di daerah industri, di perkantoran dan di
jalan-jalan protokol saja, melainkan juga di terminal-terminal, stasiunstasiun
di wilayah DKI Jakarta melalui media massa, road show, famplet,
poster, spanduk dan stiker yang akan dibagikan kepada masyarakat DKI
Jakarta.
70
c. Pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap substansi Peraturan
Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yaitu
pada Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5).
d. Meningkatkan pelayanan aparat pemerintah dalam melaksanakan
pengawasan yaitu dengan melakukan pengawasan setiap hari disetiap
kawasan dilarang merokok.
e. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi Peraturan Gubernur No.
52 Tahun 2006 tentang Kualitas Udara Dalam Ruangan (KUDR).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas penulis memberikan saran bahwa:
1. Perintah propinsi DKI Jakarta hendaknya melakukan peninjauan kembali
terhadap substansi dari Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Pasal 6 ayat
5 dan Pasal 7 ayat 5 sehingga tidak terjadi penyelewengan.
2. Pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara
menyeluruh, agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang betapa
pentingnya Penerapan peraturan Gubernur ini dalam kehidupan.
3. Meningkatkan pengawasan di setiap kawasan dilarang merokok dan tidak
hanya beberapa jam saja melainkan selama 24 jam.
4. Pemerintah harus memerintahkan kepada pimpinan/penanggung jawab
tempat atau kawasan untuk segera membuat dan menyediakan kawasan
merokok atau tempat khusus untuk merokok sesuai dengan Peraturan
Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang KUDR.ahkan kepada pimpinan/penanggung jawab
tempat atau kawasan untuk segera membuat dan menyediakan kawasan
merokok atau tempat khusus untuk merokok sesuai dengan Peraturan
Gubernur No. 52 Tahun 2006 tentang KUDR.


Jangan buang waktu, tenaga dan biaya anda sia-sia….
Solusi mencari KTI Kebidanan tercepat dan terlengkap di internet hanya di

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Angka kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu dewasa ini masih tinggi di Indonesia bila dibandingkan dengan AKI di negara ASEAN lainnya, menurut data dari survei demografi kesehatan Indonesia (SOKI) 2002-2003, AKI di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini berarti bahwa lebih dari 18.000 ibu meninggal per tahun atau 2 ibu meninggal tiap jam oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Sampai dengan tahun 2002, AKI tersebut mengalami penurunan yang lambat dengan adanya krisis ekonomi tahun 1997 lalu.
Sebagian besar penyebab kematian ibu secara langsung menurut survei kesehatan rumah tangga (2001) sebesar 90% adalah komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan segera setelah bersalin, penyebab tersebut dikenal dengan trias klasik yaitu perdarahan (28%), eklamsia (24%) dan infeksi (11%). (Depkes RI, 2004).
Angka kematian ibu maternal berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran prilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, waktu melahirkan dan masa nifas. Hasil survey demografi kesehatan indonesia tahun 1994 menunjukkan angka kematian ibu sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup dan hasil SOKI 2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk rata-rata angka kematian ibu maternal tahun 2003:73 AKI yang dihasilkan dari SOKI dan SKRT hanya menggambarkan angka nasional, tidak dirancang untuk mengukur angka kematian ibu. Menurut propinsi hasil soki 2002-2003 angka kematian ibu melahirkan (nasional) : 307 per 100.000 kelahiran hidup,(Dinkes Lampung Tahun 2005)
Upaya safe matherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilannya dan persalinannya dapat dilaluinya dengan sehat dan aman serta menghasilkan bayi yang sehat dan aman serta menghasilkan bayi yang sehat, upaya safe Matherhood terdiri dari empat pilar safe motherhood. Pilar yang kedua dari pilar safe motherhood adalah “Asuhan antenatal” dimana petugas kesehatan harus memberikan pendidikan pada ibu hamil tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa kehamilannya, meningkatkan kesadaran mereka tentang kemungkinan adanya atau terjadinya komplikasi dalam kehamilan dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi (Saifuddin, 2002).
Memperhatikan angka kematian ibu dan perinatal dapat diperkirakan bahwa sekitar 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas di saat sekitar persalinan. Untuk itu sangat diharapkan bidan, sebagai tenaga kesehatan harus ikut mendukung upaya cepat penurunan AKI, peranan bidan dalam masyarakat sebagai tenaga terlatih pada sistem kesehatan nasional salah satunya adalah meningkatkan pengetahuan kesehatan masyarakat, terutama pada ibu hamil, dimana pendidikan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan pada waktu pengawasan hamil di puskesmas atau pondok bersalin desa dan bidan praktek swasta, saat penyelenggaraan posyandu, pada saat diadakan pertemuan atau kegiatan-kegiatan dilingkungannya, dan saat melakukan kunjungan rumah (Manuaba, 1998).
Berdasarkan Pra Survey pada tanggal 28 Maret 2007 diwilayah kerja Puskesmas Wonosobo Kab. Tanggamus terdapat data dari 100% ibu hamil 75% nya masih melahirkan didukun atau dirumah dan 25% nya melahirkan di Bidan atau tenaga kesehatan. Disamping lokasinya susah dijangkau karena daerah pegunungan yang berjalan terjal sehingga transportasi didesa itu sebagaian besar sepeda motor (ojek) dan hanya beberapa keluarga yang memiliki media visual seperti TV, radio dan lain-lain. Berdsarkan wawancara dengan bidan di Desa Way Panas terdapat 18 ibu hamil 36 ibu yang mempunyai bayi 0-12 bulan dan 228 balita. Dari wawancara tersebut pula didapatkan informasi bahwa masih banyak para ibu yang belum memahami arti pentingnya kesehatan terutama kehamilan, persalinan dan nifas setelah diberikan penyuluhan dan informasi dari tenaga kesehatan para ibu mengetahui tentang kesehatan khususnya kehamilan, persalinan dan nifas. Sehingga gangguan dalam kesehatan dan persalinan akan segera ketenaga kesehatan apabila ada gangguan atau komplikasi akan cepat terdeteksi dan tertangani. Dari uraian tersebut maka Penulis untuk mengadakan penelitian tentang gambaran pengetahuan ibu hamil tentang melahirkan di bidan di Desa Way Panas Kabupaten Tanggamus.

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah tersebut Penulis merumuskan masalah sebagai berikut “Bagaimana pengetahuan ibu hamil tentang melahirkan di bidan di desa Way Panas Kab. Tanggamus”.

  1. Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
  1. Sifat penelitian : Deskriptif
  2. Subjek penelitian : Ibu hamil di desa way panas tentang melahirkan di bidan.
  3. Objek penelitian : Pengetahuan ibu hamil tentang melahirkan di bidan di Desa Way Panas Kab. Tanggamus.
  4. Lokasi penelitian : Desa Way Panas Kabupaten Tanggamus.
  5. Waktu penelitian : Setelah proposal disetujui.

  1. Tujuan Penelitian
  1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang melahirkan di bidan.
  1. Tujuan Khusus
Diketahuinya pengetahuan ibu tentang melahirkan di bidan meliputi :
  1. Pengetahuan ibu tentang kehamilan.
  2. Pengetahuan ibu tentang persalinan.
  3. Pengetahuan ibu tentang masa nifas.
  1. Manfaat Penelitian
  1. Bagi Ibu Hamil/Responden
Sebagai masukan bahan pengetahuan untuk ibu hamil, sehingga mereka dapat mengetahui proses kehamilan, melahirkan, nifas dan asuhan post partum, dengan demikian diharapkan gangguan/komplikasi dalam kehamilan dan persalinan dapat di deteksi secara dini melalui penyuluhan oleh tenaga kesehatan.

  1. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Wonosobo untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang melahirkan di bidan di desa Way Panas.

  1. Bagi Bidan
Sebagai salah satu bahan masukan bagi bidan sebagai tenaga kesehatan yang berada di masyarakat, untuk melakukan tindakan promotif seperti penyuluhan dan memberikan pengetahuan ibu tentang melahirkan di bidan.

  1. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memperluas wawasan mahasiswa tentang melahirkan di bidan.


Komentar

Postingan Populer