Berpikir adalah cara khas manusia yang membedakannya dari
makhluk lain. Di kalangan ahli mantiq sangat masyhur istilah yang
mendefinisikan manusia sebagaihayawan-natiq (hewan yang berpikir). Karena
kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah
SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an (yang artinya),
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.” (Al-Israa’: 70).
Bahkan, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah
kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki
oleh manusia itu. Sebab, dengan kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap
ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam,
dan Allah SWT memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu
berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu. Mari kita simak
ayat-ayat berikut.
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu
seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata,
‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang
benar.’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa
yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, ‘Bukankah
sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan’.” (Al-Baqarah:
31-33).
Penghargaan Allah kepada manusia demikian besarnya, sampai
ke tingkat memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam. Bahkan, yang
menolak perintah sujud itu dicap sebagai kafir. Adakah pemuliaan yang melebihi
penghargaan yang luar biasa itu?
Berpikir dalam Islam
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya
sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi.
Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan
berpikir juga, manusia mengetahui betapa kuasanya Allah menciptakan alam
semesta dengan kekuatan yang maha dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat
kecil dan tidak berarti di hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur’an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang
beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam
semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran
(al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah
berfirman
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19).
Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu
sangat erat. Dalam arti, semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada
Allah SWT. Disebutkan di dalam Al-Qur’an,
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT adalah
orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya.” (Faathir: 28).
Menurut kacamata Al-Qur’an, orang-orang yang mendurhakai
Allah itu karena disebabkan “cacat intelektual”. Betapapun mereka berpikir dan
bahkan sebagian mereka ada yang turut bersaham untuk mengembangkan peradaban
manusia, namun selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat
“bertakwa”, maka selama itu pula mereka tetap berada dalam kategori orang-orang
yang “tidak mengerti” atau meminjam istilah Al-Qur’an “laa yafgahuun”,
“laa ya’lamuun”, “laa ya’qiluun”.
Ilmuwan sejati ialah ilmuwan yang konsekuen dengan ilmunya.
Siap mengubah pendirian, sikap, kepribadian, bahkan ideologi, sesuai dengan
tuntutan dan konsekuensi pengetahuannya. Jika seorang ilmuwan bersikap jujur
dengan ilmunya, ia akan sampai pada konklusi bahwa ilmu apa pun–khususnya
ilmu-ilmu empirik dan eksperimental–yang didalami seseorang akan sampai pada
kesimpulan mentauhidkan Allah dan mengimani-Nya. Sikap ilmiah sejati tidak
hanya berhenti pada pengakuan pasif, tetapi menuntut keberanian untuk menyikapi
keyakinan itu dan mempertahankannya dari segala bentuk serangan yang dapat
mengganggu stabilitas dan eksistensinya.
Contoh yang spektakuler dalam sejarah mempertahankan
kebenaran ialah sikap para tukang sihir Fir’aun yang berbalik memusuhi Fir’an
setelah mereka percaya akan kenabian Musa a.s. melalui mukjizat yang
ditampakkannya di hadapan para tukang sihir itu. Bahkan, mereka tidak hanya
sebatas percaya dan menerima, tetapi siap menghadapi segala konsekuensi
kebenaran tersebut. Fir’aun menghukum gantung dan menyalib mereka. Akan tetapi,
sikap mereka tidak menunjukkan penyesalan, bahkan keberanian yang cukup
menakjubkan. Jawaban mereka ketika mendengar ancaman Fir’aun seperti
diceritakan di dalam Al-Qur’an,
“Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada
bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan dari Tuhan
yang menciptakan kami. Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
Sesungguhnya kamu hanya dapat menghukum kehidupan di dunia ini saja.”(Thaahaa:
72).
Sumber-Sumber Ilmu
Dalam Islam, sumber-sumber ilmu berasal dari: wahyu dan
akal. Wahyu adalah informasi tentang sesuatu dari Yang Maha Mengetahui, Allah
SWT. Wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Ciri khas wahyu itu adalah mengandung kebenaran mutlak, yang
tidak perlu didiskusikan kebenarannya. Fungsi manusia dalam kaitan ini adalah
memahami wahyu dan mengoperasionalkannya. Manusia hendaknya tidak terjebak
dalam mempersoalkan kebenaran wahyu dan validitasnya. Sebab, hal itu hanya
sekadar pemborosan energi dan kurang bermanfaat.
Adapun sumber ilmu yang kedua, yaitu akal. Akal manusia
ditakdirkan dan di-settingoleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai
perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan itu. Sebab
dalam Islam, akal adalah kunci penugasan manusia. Tanpa akal, manusia tidak
dapat dibebani dengan hukum-hukum syariat.
Metode akal dalam menangkap pengetahuan melalui tiga jalur:
A. Melalui indera yang dapat berupa penglihatan dan pendengaran. Informasi itu
diteruskan ke akal dan diterjemahkannya secara benar. B. Melalui logika,
seperti “tiga lebih besar daripada dua”. C. Melalui berita yang disampaikan
oleh orang lain. Kebenaran pengetahuan ini tergantung pada kebenaran nara sumbernya.
Dalam kaitan ini, Islam sangat berjasa merumuskan disiplin ilmu yang dapat
menguji kebenaran suatu informasi. Ilmu ini dikenal dalam ilmu hadits dengan
nama “ilmu al-jarh wa at-ta’dil”.
Metode Berpikir Islami
Oleh karena berpikir adalah suatu aktivitas yang dapat
dilakukan oleh semua orang, baik muslim atau nonmuslim, yang akan menghasilkan
kesimpulan yang beragam, sudah barang tentu diperlukan suatu kerangka yang
dapat mengarahkan manusia dalam berpikir untuk mencapai sasarannya. Sebab,
tanpa rumusan pola itu, manusia akan dapat terperangkap pada cara berpikir yang
lepas kendali. Konsekuensinya tidak segampang yang dibayangkan manusia. Akan
tetapi, tidak menemukan kebenaran itu dalam Islam identik dengan kesesatan.
Allah berfirman (yang artinya),
“Adakah di luar kebenaran itu kalau bukan kesesatan?” (Yunus:
32).
Jika mengamati petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hadits Nabi, dan
pengalaman sejarah intelektual dalam Islam, maka dapat dikemukakan beberapa
metode–atau dapat disebut sebagai kaidah–berpikir dalam Islam, yang
mengantarkan seseorang berpikir secara proporsional dan benar untuk selanjutnya
keluar dengan pemikiran yang jernih, lurus, dan relefan dengan kehendak Allah
SWT. Metode tersebut adalah sebagai berikut:
a. Wahyu adalah Satu-satunya Sumber Aqidah dan Ayari’ah
Setiap peneliti muslim diminta agar menjadikan Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber dalam konsep dan operasional sekaligus,
tanpa memilah-milahnya, dalam arti bahwa kita sebagai muslim hendaknya
mengajukan pertanyaan kepada Al-Qur’an, kemudian mendengar jawabannya dari
Allah SWT. Akan tetapi, mencari jawaban itu hanya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
saja, bukan dari sumber-sumber lainnya.
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai wahyu dari langit adalah
hakikat yang sudah merupakan aksioma dan menjadi prinsip Islam. Akan tetapi,
sayangnya banyak peneliti dan kaum intelektual melangkahi prinsip ini, sengaja
atau tidak. Mereka cenderung menggunakan sumber-sumber produk manusia, di
samping sumber-sumber utama Islam. Mereka juga menyimpan seperangkat pemikiran,
teori, dan hipotesa sebagai peninggalan peradaban kuno yang cenderung berlainan
dengan konsep Islam. Kondisi seperti ini sudah tentu tidak sejalan dengan
kaidah menempatkan wahyu sebagai satu-satunya sumber dalam jalur aqidah, hukum,
dan maslaah metafisik.
Seharusnya sikap muslim pencari kebenaran ketika membaca
Al-Qur’an mengosongkan pikirannya dari seluruh jenis teori dan konsep yang
dihasilkan manusia tanpa dasar wahyu.
b. Hubungan antara Wahyu, Akal, dan Metode Interpretasi
Rasional
Kaidah ini berkaitan dengan penempatan posisi akal dan
perannya dalam menangkap pesan (teks) Ilahi. Pada prinsipnya, Islam telah
menetapkan adanya dua alam yang harus dibenarkan manusia sebagi prasarat
diterima keislamannya. Kedua alam itu ialah alam ghaib dan alam nyata.
Spesifikasi alam ghaib ialah berada di luar batas ruang dan
waktu. Dua kawasan yang merupakan jalur operasi akal manusia. Alam ghaib
seperti, Allah, malaikat, langit, jin, akhirat adalah kawasan yang berada di
luar jangkauan manusia. Manusia tidak bakal mengetahuinya secara rinci dengan
mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Fungsi akal di sini sekadar menerima
informasi, memahami, dan membenarkan. Adapun alam nyata, objek dan komponennya
berada dalam batas ruang dan waktu. Akal manusia bertugas menyelidikinya untuk
sampai pada hakikat.
Atas dasar ini, kebenaran di sekitar alam ghaib tidak dapat
didiskusikan secara rasional dan menggunakan logika, tetapi kita terima melalui
teks secara apa adanya. Peran akal berada pada batas pengklasifikasian,
penempatan, dan penetapan, agar keluar dengan kesimpulan yang general dan
sempurna serta tidak bertentangan dengan akal dan logika.
Dalam Islam dikenal dua kategori hakikat: hakikat tawqifiyah
yang berskala ghaib dan didapatkan melalui informasi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Posisinya berada di atas akal manusia. Dan, hakikat tawfiqiyah yang
sesungguhnya menjadi objek dan lapangan akal manusia.
Kekeliruan banyak orang, seperti perkembangan filsafat
Yunani, mencampuradukkan dua kategori tersebut, sehingga membebankan kepada
akal hal-hal yang sebenarnya berada di luar kemampuannya. Manusia juga sering
tertipu ketika akal mampu memerankan fungsinya secara baik dan prima pada ruang
“tawfiqiyah”, mengira bahwa akal juga mampu menembus wilayah “tawqifiyah”, atau
setidak-tidaknya tergiur untuk menerobos ke kawasan itu.
Pada zaman modern ini, kita perhatikan akal manusia mampu
menemukan hal-hal menakjubkan di alam materi. Lalu kita mengira bahwa akal yang
selama ini mampu menciptakan pesawat, roket, menghancurkan atom, membuat bom
hidrogen, menjelajah ruang angkasa, juga memiliki kemampuan untuk merumuskan
peraturan yang menata hidup manusia. Kita lupa bahwa keberhasilan yang diraih
akal selama ini ketika ia beroperasi pada jalurnya secara natural, karena
memang ia dipersiapkan untuk itu. Akan tetapi, sekiranya akal beroperasi di
jalur “alam manusia”, berarti ia beroperasi dalam alam yang tidak mengenal
batas dan amat kabur. Akibatnya, akal menemukan jalan buntu dan keluar dengan
konklusi yang keliru.
c. Mencari Kebenaran dengan Sikap Jernih
Yang dimaksud di sini ialah sikap objektif sebagai pencari
kebenaran dari wahyu Al-Qur’an, bukan dengan tendensi tertentu, seperti
mencari-cari dalil untuk melemahkan pendapat lawan. Hakikat Al-Qur’an adalah
parameter untuk mengukur kebenaran suatu paham, teori, dan filsafat-filsafat
yang ada, oleh karena itu harus diketahui secara utuh dan dengan cara langsung
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, perjalanan yang ditempuh pemikiran
manusia untuk sampai kepada kebenaran amat lamban, sebab ia tidak mampu
menemukan kebenaran secara spontan tanpa bantuan kekuatan lain.
d. Kebenaran dalam Al-Qur’an Senantiasa Paralel
Yang dimaksud di sini ialah keharusan membandingkan antara
kesimpulan yang didapat dari Al-Qur’an–melalui metode deduktif–dengan
kebenaran-kebenaran Al-Qur’an yang mutlak. Hal ini didasarkan pada prinsip
bahwa kebenaran dalam Al-Qur’an tidak akan mengalami kontradiksi dengan sesamanya,
karena ia berasal dari sumber yang sama. Jika ditemukan adanya kelainan, secara
otomatis kesimpulan yang diperoleh adalah keliru dan ditolak. Hal ini
didasarkan pada dua ketentuan yang aksiomatik dan disepakati oleh kaum muslimin
dan didukung oleh metodologi ilmiah dalam kritik sejarah, yaitu sebagai
berikut. 1. Semua ayat-ayat Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, dan Allah
menjanjikan pemeliharaan mutlak atas kesucian Al-Qur’an. 2. Al-Qur’an secara
keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara sebagian dengan bagian
lainnya bersesuaian dan tidak ditemui kontradiksi.
e. Bersikap Jujur, tanpa Prakonsepsi
Peneliti Al-Qur’an dituntut agar bersikap jujur dan ikhlas
untuk mencri kebenaran murni. Peneliti hendaknya membebaskan dirinya dari
pengaruh hawa nafsu, kepentingan, fanatisme kelompok, dan paham yang dianutnya.
Hal ini memang berkaitan kepada individu peneliti dan
mentalitas serta moralitasnya. Akan tetapi, manusia adalah satu kesatuan.
Memilah-milah antara sarana dan kemampuannya dalam memberi interpretasi atas
aktivitas manusia adalah cara yang keliru. Tidaklah semua orang yang membaca
Al-Qur’an akan mendapat petunjuk. Bahkan, ada yang membacanya tetapi disesatkan
oleh Allah. Lalu, siapa yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat?
Jawabannya dari Al-Qur’an itu sendiri.
Menurut Al-Qur’an, motivasi juga memegang peran penting
dalam menerima kebenaran atau menolaknya. Allah memberikan gambaran,
perumpamaan, peringatan, dan janji-janji agar dipikirkan, tetapi orang-orang
kafir justru semakin menyimpang dari jalan yang benar.
Pemikiran Islam di Tengah Pemikiran-Pemikiran Lainnya
Jika kita mencari perumpamaan antara pemikiran Islam dengan
pemikiran produk manusia lainnya, ibarat bunga mawar yang dikelilingi oleh
duri-duri yang tajam. Setidaknya ada dua filsafat yang saling kontradiktif
dalam ajarannya, sementara posisi Islam berada di tengah dan berjalan secara
seimbang. Kedua filsafat itu ialah materialisme dan spiritualisme.
1. Paham Materialisme
Jika kita memperhatikan sistem yang berlaku sekarang,
kebanyakan berdiri di atas paham “materialisme”, suatu paham yang
mengumandangkan “sekularisme” dan menyanjung-nyanjungnya. Memang penerapan
paham ini di sebagian negeri masih memberikan ruang bagi “agama”, tetapi ia
menempatkan agama pada posisi yang sangat terbatas. Sementara, di negara-negara
tertentu agama benar-benar diperangi dan diharamkan.
Sesungguhnya materialisme adalah paham yang dasar dan
akarnya sudah sangat jauh ditelan sejarah, tetapi muncul ke permukaan dengan
nama dan simbol yang berbeda-beda, namun akarnya sama, yaitu mementingkan
materi dan menjadikannya sebagai dasar dan pijakan, baik mengakui posisi agama
ataupun mengingkarinya secara total.
Al-Qur’an sudah lama mengidentifikasi paham ini dengan
mengatakan,
“Kehidupan kami tidak ada lain dari kehidupan dunia, kami
mengalami mati dan hidup dan kami tidak akan dibangkitkan lagi.” (Al-Mu’minun:
37).
Kehidupan yang didasarkan atas paham ini akan mengalami
tantangan-tantangan yang cukup berat, karena tuntutan manusia yang cukup
mendesak pada pemenuhan kebutuhan rohani dan alam ghaib, sebagaimana kebutuhan
fisik dan materi. Kenyataan yang dialami umat manusia belakangan ini sebenarnya
sudah cukup menjadi “jawaban” bagi mereka yang memandang hidup ini hanya
materi, dan mereka membangun teori, sikap, dan kehidupannya atas dasar materi
murni. Tidak ada kondisi di mana manusia dalam keadaan paling sengsara dari
kondisi kehidupan materialis.
2. Tenggelam dalam Spiritualisme (Pola Hidup Kerahiban)
Paham ini kebalikan dari paham pertama, dan sama-sama tidak
memberikan jawaban yang memuaskan bagi manusia. Bagi penganut paham ini,
penyiksaan diri, menjauhi kehidupan materi adalah ukuran kebahagiaan seseorang.
Dalam sejarah umat manusia, filsafat ini ditampilkan oleh
pemuka-pemuka agama Nasrani (rahib) yang cenderung hidup menyiksa dirinya untuk
meraih ridha tuhannya. Sangat mengerikan jika kita mendengar gaya hidup para
rahib itu. Ada di antara mereka yang tidak menyentuh air selama empat puluh
tahun, karena menurut keyakinannya bahwa hidup bersih dan rapi dapat mengurangi
penghambaan manusia kepada Tuhan. Ada pula yang hidup dan tidur di comberan
hingga ulat-ulat menyantapi daging-daging tubuhnya. Ada lagi yang berdiri
dengan kaki sebelah selama lima belas tahun. Banyak cerita-cerita aneh yang
dilakukan para rahib untuk menjauhi kehidupan.
Dengan demikian, paham yang sesuai dengan fitrah manusia
adalah Islam. Islam berada di tengah-tengah dari kedua keadaan yang ekstrem
tersebut. Betapa indahnya hidup di bawah naungan Islam yang mencarikan bagi
manusia jalan kehidupan yang seimbang di dunia dan selamat di akhirat.
Komentar
Posting Komentar